Setahu saya, kasus LPG 3kg langka bukan yang pertama kalinya. Mungkin iya pertama kali terjadi di tahun 2025.
Namun, diawal-awal kemunculannya, kejadian itu sudah sering terjadi.
Keluarga kami dulu ditawari menjadi pangkalan LPG 3kg karena halaman rumah yang luas dan lokasi strategis di pinggir jalan, di mana sekitar area rumah kami juga banyak pedagang-pedagang tenda dan juga pedagang keliling. Letaknya memang dekat perkantoran dan tempat nongkrong masyarakat sekitar.
Kehadiran LPG melon tentunya menguntungkan bagi para pedagang keliling yang harus membawa gerobaknya berkeliling. Bentuknya yang kecil dan tidak terlalu berat cocok untuk mereka.
Sebagai pangkalan, kami harus mengikuti aturan pendistribusian yang ditentukan oleh agen yang menyalurkan kepada kami. Dan aturan itu, seingat saya ditentukan oleh distributor di atas agen, yaitu Pertamina. Aturannya adalah sekian persen disalurkan untuk pedagang/UMKM kecil, sekian persen untuk rumah tangga di sekitar pangkalan, sekian persen untuk pengecer.
Tetapi ternyata aturan itu tidak mudah dipraktekan. Peminat LPG 3 kg ini terlalu banyak jika dibandingkan dengan ketersediaan barang. Setiap pangkalan mendapat jatah sejumlah tertentu, jadi bukan berdasarkan jumlah peminat atau bisa minta stok sesukanya. Seminggu, seingat saya ada dua kali pengiriman. Namun tetap saja jumlah itu tidak mencukupi.Â
 Terlalu banyak peminat bukan hanya semata-mata karena jumlah "orang miskin" terlalu banyak. Tetapi, karena peminatnya bukan hanya "orang miskin". Yang secara aturan tidak berhak pun, ternyata sangat berminat. Terkadang menaikan harga menjadi solusi untuk mengurangi jumlah permintaan dari para peminat ini. Banyaknya peminat ini juga menimbulkan ide "kreatif" di masyarakat untuk menjual lagi LPG 3 kg ini, sebagai pengecer. Dan sebagai pangkalan, kami memang ditugaskan menyalurkan juga kepada pengecer. Namun, sering sekali hal ini menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan masyarakat sekitar. Karena ternyata banyak juga rumah tangga yang tidak kebagian. Tidak kebagian karena beberapa rumah tangga lain, membeli terlalu banyak.Â
Antrian 1 orang hanya boleh membeli maksimal 1 atau 2 tabung pun pernah dicoba. Tetapi ini bisa diakalin, seluruh anggota keluarga disuruh antri, sementara yang sudah antri menunggu di kejauhan. Belum lagi pengecer dan pedagang mikro yang sudah dijatah, melakukan hal yang sama. Ternyata walau pengecer menjual dengan harga lebih mahal tetap saja laku keras. Menurut beberapa pedagang, dengan menggunakan LPG 3 kg ini, memang jauh lebih irit, sehingga keuntungan mereka bisa lebih banyak.Â
Pernah ada pedagang gorengan keliling yang berkeluh kesah kepada kami, "Kalau gak ada LPG 3kg, kami gak bisa dagang".
Ya, yang kasian mereka ini. Ada alternatif ukuran 5.5 kg, tetapi pasti jadi lebih berat membawanya berkeliling, dan secara hitung-hitungan harga pun jatuhnya lebih mahal. Belum lagi bentuk gerobak yang sudah dirancang hanya muat untuk gas ukuran 3 kg.
Sebagai pangkalan yang diamanatkan dalam pendistribusian LPG 3 kg ini, kami juga kewalahan karena belum ada tata cara pendistribusian yang pas, efisien dan efektif agar penyalurannya tepat sasaran. Setiap bulan, pangkalan harus menyerahkan laporan pendistribusian LPG 3kg ini kepada agen. Pendistribusian sesuai aturan, yang pada prakteknya, ternyata tidak semudah itu. Sistem pembeli harus menyerahkan KTP, menggunakan kartu "anggota", antri satu orang satu, sudah pernah diterapkan. Tetapi yang terjadi seperti yang digambarkan di atas.Â
Kadang ada juga pembeli menggunakan mobil Alphard, kalau gak dikasih ngakunya cuma supir, atau beralasan tinggal di daerah situ sudah puluhan tahun, dst. Dan sebenarnya, masyarakat sekitar pun banyak yang bukan golongan "orang miskin", namun tetap berebut LPG 3kg ini. Padahal sudah jelas pada tabung LPG 3 kg dituliskan "Khusus Orang Miskin".
Perlu ada sistem pendistribusian yang masuk akal dan bekerja sama dengan perangkat masyarakat setempat dalam hal pendistribusian LPG 3 kg yang bersubsidi ini. Perangkat masyarakat perlu memilih warga yang benar-benar masuk golongan "orang miskin", dengan sebenar-benarnya, bukan berdasarkan sudah puluhan tahun tinggal di situ. Dan juga perlu kesadaran masyarakat dalam hal "berbagi".