Rendah hati, bukan sesuatu yang mudah dijalankan. Bahkan dimengerti saja mungkin sulit, karena terjemahannya bisa berbeda-beda tergantung pengalaman hidup seseorang.
Namanya manusia, sesuci-sucinya pasti ada sifat egoisnya. Merasa "paling" atas apa yang sudah dilakukan. Paling banyak berkorban, paling berarti, paling cape, dan seterusnya. Mungkin benar seseorang itu sesuai dengan rasa "paling" yang dia lakukan, yang dia rasakan. Tetapi, apa pernah terpikir apakah yang dia lakukan itu benar-benar ada gunanya buat orang-orang di sekitarnya? Ataukah itu semua hanya obsesi pribadi karena keinginan berbuat baik saja?!
Terkadang perbuatan baik itu tidak selalu berefek baik bagi orang-orang yang dituju.
Perlu juga berefleksi, apakah kita cukup mendengarkan sekeliling kita. Apakah sudah cukup peka dengan lingkungan sekitar. Ataukah hanya sekedar melakukan sebuah definisi "berbuat baik" yang umum terlihat dan dilakukan oleh lingkungan di sekitar kita dan sesuai budaya yang ada?
Seringkali tidak sesederhana itu!
Katanya semua tergantung niat. Betul sekali!
Niat baik bisa jadi lebih dari cukup jika benar-benar cukup dengan melaksanakan niat baik, tanpa "memaksakan" hasilnya harus sesuai perencanaan, seharusnya begini dan seharusnya begitu, karena energi, daya, waktu, yang dipersembahkan ada sekian banyak.
Kata para teknisi yang biasanya terjun langsung menangani suatu masalah, entah teknisi apapun itu, kenyataan di lapangan bisa berbeda.
Yeah, niat baik juga sering seperti itu. Kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Tuhan Yesus juga datang ke dunia ini untuk sebuah kebaikan. Tetapi Dia malah disalah pahami, dianggap ancaman, dianggap pesaing yang akan merebut kekuasaan. Entah kekuasaan siapa. Tetapi hebatnya Dia tetap taat dengan tugasNya.
Menurut saya itu adalah bentuk sebuah kerendah hatian, kesederhanaan. Rendah hati untuk tidak menuntut atas pengorbanan yang sudah dia lakukan. Sederhana karena dia mau berusaha fokus pada tujuan awalnya saja.
Boro-boro dapat privilege mewah karena mau mengambil tugas penyelamatan dengan turun ke dunia menjadi manusia. Lahirnya saja di kandang domba yang dianggap hina pada saat itu. Kalau sekarang mungkin ada orang yang lahir di kandang domba bisa sombong dengan mengatakan,"Tuhan Yesus juga lahir di kandang domba!". Jika tidak ada kejadian Tuhan Yesus lahir di kandang domba?
Apakah orang itu bakal menyesali kedua orang tuanya yang tidak mengusahakan anaknya lahir dengan paket lahiran level VIP, kelas I, kelas II, atau kelas III di rumah bersalin. Atau ikutan teori para pakar mungkin? Karena lahir di kandang domba, tidak sesuai dengan kelaziman, maka anak itu mengalami luka batin yang terbawa sampai dewasa? Maka segala perbuatannya perlu dimaklumi.
Tidak mudah menjadi pioneer. Karena selama hasilnya belum dirasakan banyak orang, mungkin akan dicibir, direndahkan, dipatahkan semangatnya, dll.
Terus, apa boleh kita menggerutu?! Boleh!
Tapi itu pilihan masing-masing. Mau berhenti atau lanjut.Â
Tidak mudah memang menjaga api semangat atas sebuah niat baik yang dijalankan. Tapi selalu kembali kepada kesederhanaan dan kerendahan hati menjalankan sesuatu yang diniatkan untuk sebuah kebaikan sebagai tujuan awal, mungkin bisa menjaga api semangat itu.Â
Mari kembali ke Betlehem melihat Tuhan Yesus yang rela melepaskan keagunganNya demi kebaikan umat manusia. Semoga teladan Tuhan Yesus dapat mengobarkan kembali api semangat yang mungkin hampir padam.Â