Jika mendengarkan para ahli yang pernah berbicara dalam sidang kasus kopi Sianida tahun 2016 lalu, untuk suatu keahlian yang sama, terkesan ada "perbedaan".
Nampaknya hal ini menjadi salah satu hal yang menimbulkan persepsi dan kesimpulan yang berbeda diantara para pengambil keputusan, termasuk juga para pengamat, baik itu ahli lain di luar sidang, netizen, dan mungkin citizen di luar sana yang tidak ikut-ikutan mengekspresikan diri di dunia maya.
Mengapa bisa begitu? Padahal ilmunya sama, hal yang diteliti terkait kesaksian yang disampaikan juga sama. Tetapi mengapa hasilnya bisa berbeda? Apalagi kalau ilmu pasti yang seharusnya pasti-pasti saja. Jika begini maka begitu, jika begitu maka hasilnya akan begini. Jadi di mana masalahnya jika tentang sesuatu hal yang sama ternyata pengertian masing-masing ahli bisa berbeda.
Menurut Dr. Djaja Surya Atmadja dalam sebuah podcast yang saya dengar, hal itu  seperti dua sisi mata uang. Seorang ahli melihat dari satu sisi sedangkan ahli lain melihat dari sisi lain. Ngomong berbeda-beda, tetapi ujung-ujungnya, mungkin saja sebenarnya mereka semua berbicara hal yang sama. Karena itu, menurut beliau semua itu harus dilihat secara lengkap, tidak bisa sepotong-sepotong.Â
Dan mungkin itu tugasnya seorang hakim, karena yang saya lihat di beberapa persidangan (secara online), tidak ada diskusi dengan pikiran terbuka untuk membuat masing-masing pihak jelas. Mungkin karena pengadilan itu bukan forum diskusi, tetapi forum pembuktian atas sesuatu yang dituduhkan.
Kembali lagi, bagaimana mungkin sebuah keilmuan bisa dipaparkan dengan pengertian yang berbeda-beda dan masing-masing pihak yang berkepentingan boleh "memilih" mana yang dia yakini benar.Â
Jaksa berpegang pada keterangan saksi ahli A, sementara pengacara berpegang pada keterangan saksi ahli B. Hakim? Nampaknya hakim dituntut untuk netral dalam segala pertimbangannya.Â
Netral dalam arti harus dapat mengambil kesimpulan yang sebenar-benarnya dari keterangan para ahli yang sudah susah payah memaparkan kepakarannya dalam suatu bidang ilmu, sekalipun untuk suatu hal yang sama keterangan dua orang (atau lebih) ahli dalam bidang tersebut ternyata bisa berbeda.
Andai hakim diberikan sebuah tool (alat) yang dapat membantunya menyimpulkan dengan "benar" dari keterangan-keterangan para ahli yang bisa berbeda-beda tersebut, dengan mengabaikan siapa orangnya yang memberikan pandangan dan hasil analisanya, dan hanya berfokus pada hal-hal yang seharusnya tanpa intervensi apapun, mungkin tugas hakim akan lebih mudah.
Pertama, harus ada "kontrol" mengenai prosedur dan keilmuan yang diyakini sebagai  prosedur yang benar untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Logikanya, output yang benar akan didapat dari input yang benar, perlakuan (prosedur) yang benar, dan pemrosesan (jika ada) yang benar.