Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Mengungkap Kemungkinan Korupsi dengan Artificial Intelligence

29 Maret 2023   00:33 Diperbarui: 29 Maret 2023   18:45 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RUU perampasan asset segera disahkan, setelah "terdengar" di tahun 2021. RUU ini diharapkan dapat menyelamatkan aset negara, yang berasal dari tindak pidana, terutama dari perkara tipikor (tindak pidana korupsi).

Biasanya aset yang terbukti hasil tindak pidana, terutama korupsi, nilainya bukan main-main alias cukup tinggi. Kalau dipikir-pikir secara pemikirian awam ada beberapa kemungkinan mengapa nilai aset yang diduga hasil tindak pidana yang merugikan negara nilainya cukup tinggi.

  • Tindakan pidana dilakukan hanya sekali, kemudian pelaku "bertobat", tetapi hasil korupsi dimodalkan sehingga menghasilkan aset yang bernilai cukup tinggi. Berarti ketahuannya setelah sekian lama. Karena tidak mungkin usaha melipat gandakan uang/aset terjadi dalam waktu singkat. Kecuali melalui penggandaan uang oleh dukun yang benar-benar ahlinya. Mungkin bersertifikat dari universitas perdukunan entah di negara mana.  
  • Tindak pidana dilakukan berkesinambungan sehingga pelaku dapat meraup harta kekayaan yang cukup banyak dari hasil korupsinya. Apalagi jika dimodalkan lagi. Berarti ini juga ada waktu beberapa lama sehingga pelaku dapat melakukannya secara berkesinambungan dan baru "bertobat" setelah ketahuan dan ditindak lanjuti oleh pihak berwajib serta menjadi terkenal lewat pemberitaan media.

Mengapa suatu tindak pidana, kita ambil contoh tipikor, tidak dapat dideteksi lebih cepat? Padahal sudah cukup lama, negeri ini dikenal sebagai negara yang tingkat korupsinya tinggi. Artinya sudah cukup banyak kasus korupsi. Seharusnya dengan pengalaman panjang itu, tindakan korupsi bisa diidentifikasi lebih cepat, sehingga pencegahan juga dapat dilakukan, untuk mencegah tindakan korupsi berkesinambungan oleh oknum yang sama. Jika orang tidak dapat mendeteksi itu, karena mungkin pelakunya mereka-mereka lagi, mestinya sistem dapat memberi tahu sinyal-sinyal korupsi.

Darimana kemungkinan sinyal-sinyal korupsi datang?

  • Informasi dari berbagai penjuru. Salah satunya dari "penampilan" yang tampak di medsos dan gaya hidup sehari-hari. Tetapi setelah ada larangan pamer kekayaan, berkurang pula satu (atau dua) sumber informasi.
  • Hasil perbandingan sumber keuangan dan pengeluaran rutin maupun tidak rutin sumber keuangan. Yang dapat dideteksi adalah sumber keuangan yang dilaporkan. Jika pengeluaran rutin melebihi aliran dana masuk dari sumber resmi (yang dilaporkan), maka perlu dipertanyakan darimana datangnya dana dan untuk keperluan apakah masuk ke rekening orang itu. Sumber dana yang dilaporkan itu misalnya penghasilan dari bekerja, hasil investasi, hibah warisan, dan uang pencairan asuransi sebagai penerima manfaat. Dalam hal asuransi, pemegang polis harus melaporkan polisnya, agar aliran dana ke penerima manfaat kelak dapat dilacak dan tidak dipertanyakan.
  • Laporan-laporan kecurigaan baik oleh masyarakat biasa, sesama pejabat, partner kerja
  • Hal-hal yang tidak sesuai SOP dalam pekerjaan-pekerjaannya. Misal, pejabat menandatangani pengeluaran uang tanpa kejelasan untuk apa dan tidak sesuai prosedur, tetapi uang bisa cair
  • Riwayat perjalanan moda transportasi yang merekam data penumpangnya. Data ini termasuk pengeluaran. Gak mungkin toh, selalu ada 'teman' yang bayarin pesawat kemana pun pergi. Apalagi perginya terlalu sering dan bukan dalam rangka tugas. Riwayat perjalanan ini tidak hanya riwayat perjalanan ke luar negeri saja. Contoh: Seseorang kalau terlalu sering ke Raja Ampat dalam rangka liburan, perlu dicurigai, jangan-jangan dia punya aset disana yang tidak terdaftar. Lagi pula ongkos pesawat ke Raja Ampat itu lebih mahal daripada ongkos pesawat ke negara tetangga.
  • Riwayat booking hotel. Ini juga termasuk pengeluaran. Jika terlalu sering menginap di hotel, yang bayar siapa dan bagaimana metoda pembayarannya.
  • Dari riwayat pembelanjaan dan pembayaran kartu kredit, e-walet, dsj. Siapa tahu ada orang lain yang bayarin kartu kreditnya. Ini juga perlu dicurigai. Kalau tiap bulan dibayarin orang lain, jangan-jangan itu upeti.
  • Dari derma-derma yang disalurkan atas nama pelaku dan anggota keluarga. Banyak koruptor yang dermawan seperti si Pitung. Ada pula koruptor yang minta orang lain untuk mentransfer dana untuk berderma atas nama pelaku.
  • Dari laporan-laporan penemuan-penemuan penyelidik
  • dll

sumber: analyticsinsight.net
sumber: analyticsinsight.net

Kelihatannya datanya remeh temeh sekali. Tetapi ini jaman "data is new oil". Data remeh temeh pun tidak akan terlalu sulit dan makan waktu untuk dikumpulkan, dijadikan satu, dan diproses untuk menghasilkan informasi pendukung serta penentuan skor, apakah skornya termasuk kedalam sesuatu yg patut dicurigai, harus segera diselidiki, atau tindak lanjut lainya.

Secara umum, saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia sudah membangun big data. Jangankan perusahaan besar, cafe semacam starbuck saja sudah merekam data transaksi pelanggan (personal) secara digital melalui kartu membership. Big data dapat menjadi data sumber  untuk teknologi machine learning sehingga dapat mempelajari sesuatu dengan lebih cepat.

Kendalanya mungkin ada pada akses data pribadi. Tetapi untuk keperluan penyidikan, apakah data pribadi tidak boleh dibukakan?

Atau bisakah lembaga keuangan seperti bank, asuransi, investasi, dsj, diwajibkan untuk mengimplementasikan teknologi artificial intelligence untuk mendeteksi "anomali" dari transaksi aliran uang para nasabahnya? Jika terdeteksi, laporan dikeluarkan dan diserahkan kepada pihak berwenang untuk diselidiki lebih lanjut. Beberapa negara di Eropa, sudah mengimplementasikan hal ini untuk mencegah atau mengungkap dugaan korupsi.

Selain data-data diatas, bisa juga dianalisa berdasarkan kebiasaan-kebiasaan perilaku dan teknik bertindak korupsi (behaviour). Data ini mestinya sudah banyak, mengingat banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun