Memaafkan bukanlah hal yang mudah. Mengatakan maaf di bibir mungkin mudah, namun memaafkan adalah masalah menerima apa yang sudah terjadi termasuk menerima pelaku yang bersalah apa adanya dan memberikan waktu dan kesempatan pada orang itu untuk memperbaiki dirinya sendiri. Membebaskan diri dan hati dari "menuntut" si bersalah seharusnya begini dan begitu.
Salah satu yang menarik dalam kasus penembakan Brigadir J adalah mengenai "maaf" yang menjadi salah satu pertimbangan Jampidum tidak mengajukan banding atas vonis hakim terhadap Richard Eliezer.
Fadil mengatakan, ada beberapa pertimbangan yang dilihat oleh Jampidum, salah satunya adalah pemberian maaf keluarga korban kepada Richard Eliezer. "Kata maaf itu adalah yang tertinggi dalam putusan hukum, berarti ada keikhlasan dari orangtuanya dan itu terlihat dari ekspresi menangis," tutur dia. (Baca:Â Akhirnya Kejagung Akui Richard Eliezer "Justice Collaborator", Awalnya Tolak Mentah-mentah)
Andai status justice collaborator Richard Eliezer tidak diterima pun, ketetapan hati Richard Eliezer untuk mengakui kesalahan, menyesal atas kesalahan yang terlanjur terjadi, berani mengambil resiko atas kejujurannya, dan berusaha memperbaiki apa yang sudah terjadi, adalah suatu tindakan yang, buat saya, cukup mengagumkan.Â
Tidak semua orang berani mengambil resiko atas sebuah kejujuran akibat kesalahan yang dibuatnya. Bukti bahwa hati nurani Richard masih berfungsi dengan baik.
Mungkin tidak akan mudah baginya melupakan peristiwa penembakan itu karena dia sendiri yang melakukannya. Namun, semoga semuanya menjadi pelajaran yang berharga bagi Richard dan bagi kita semua.Â
Semoga Richard Eliezer dapat menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk "membayar" kesalahannya dengan menjadi orang yang berani membela kebenaran dan menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak berpihak pada ketidak benaran hanya demi menyelamatkan diari sendiri.Â
Maaf dari keluarga Brigadir J adalah juga sebuah pembebasan bagi Richard atas rasa bersalah telah menembak Brigadir J atas perintah atasannya. Semoga Richard dapat membebaskan dirinya sendiri dari rasa bersalah itu.
Manusia, meski banyak yang mengakui diri dengan kalimat bijak: "Manusia tidak luput dari kesalahan", tetapi banyak juga dari kita  yang tidak mampu mendengarkan dan mengikuti suara hati untuk mengakui kesalahannya sendiri apalagi mengambil resiko atas suatu kejujuran.
Dengan keberanian Richard Eliezer membongkar suatu ketidakbenaran, marilah kita mengingatkan diri sendiri untuk tidak menjadi robot yang tidak pernah salah.Â