"Bagaimana sih caranya mengganti biografi singkat di video itu dengan biografi kita?", tanya seorang teman sambil menunjukan sebuah video hasil karya orang lain dimana pembuatnya  juga mencantumkan namanya dalam setiap scene, dan di bagian akhir terlihat data prestasi orang tersebut terkait dengan content video yang ditayangkan.
Mudah saja mengganti bagian yang dimaksud dengan nama dan data kita, namun mengapa sepertinya tidak ada rasa malu, rasa bersalah bertanya seperti itu, seolah hal itu bukan suatu masalah. Â Mungkin teman ini memang tidak tahu mengenai hak cipta. Maka saya katakan, "Itu kan ada hak ciptanya. Apalagi dia juga sudah mencantumkan namanya disetiap scene video itu. Kita tidak bisa main ganti begitu saja".
Bagaimana ya rasanya kalau mendapati karya kita bertebaran dimana-mana di dunia maya tetapi nama kita sudah tidak ada sebagai pembuat karya?
Ada satu tulisan saya dimasa lalu, dari jaman belum ada whatsapp, Â yang saya temui muncul disebuah website, tetapi nama penulis tidak ada lagi disana. Maka saya hubungi pemilik website untuk mencantumkan penulis dan nara sumbernya.Â
Aslinya tulisan itu menyebutkan nara sumber dan penulis. Syukurlah artikel itu tayang kembali dengan nama saya sebagai penulis lengkap dengan nara sumber. Namun saya masih menemui tulisan itu di tempat lain tanpa nama saya disitu, padahal dari isinya saya yakin itu tulisan saya.Â
Begitulah sampai akhirnya saya cape sendiri. Padahal tulisan itu saya buat dengan susah payah mencari dan bertanya  kepada beberapa nara sumber yang mau bercerita dengan sukarela.Â
Eh orang lain dengan enaknya  cuma copy paste dan menghapus nama penulis dan nara sumber. Untunglah sebelumnya, ayah saya, sebagai salah satu nara sumber, mengingatkan untuk tidak menulis terlalu panjang karena khawatir dijiplak orang lain.Â
Bertahun-tahun telah berlalu dan saya juga tidak lagi mempersoalkan tulisan yang bertebaran dimana-mana tanpa nama penulis itu. Hingga suatu hari, dalam sebuah group WA, tulisan itu muncul lagi, dan dijadikan bahan diskusi, karena tulisan itu memang berhubungan dengan orang-orang dalam group tersebut.Â
Dengan santai saya bilang, "Itu kan saya yang nulis". Tetapi tidak ada yang peduli, seolah secara budaya yang berlaku, apapun yang ada di Internet bisa dicomot seenaknya. Saya pun sudah merelakan dan tidak lagi mempersoalkan.
Kembali ke pertanyaan seorang teman tadi, rupanya sampai hari ini pun masih banyak orang Indonesia yang tidak peduli tentang hak cipa sebuah karya. Sekalipun karya itu hanya tersebar di Internet, tidak dalam bentuk buku atau bentuk fisik lainnya.Â