Beberapa tahun lalu, ketika saya berusaha untuk fasih berbahasa Inggris, saya mencoba mencari teman chat yang native speaker. Maklum waktu itu rasanya belum banyak bule berkeliaran disekitar saya, dan tidak memiliki cukup uang untuk mengambil kursus bahasa Inggris. Lagipula kalau cuma sekedar percakapan biasa, rasanya saya bisa. Saya butuh yang lebih advance. Maka jadilah saya mencari teman chat via Internet.Â
Dan saya bertemu (e-meet) dengan seorang bule Australia yang kebetulan sedang mencari kenalan di kota tempat saya tinggal, karena dia menyukai kota itu dan sudah beberapa kali mengunjungi kota saya sebelumnya. Dan terjadilah percakapan tentang "uang".Â
Menurut si bule ini, orang Indonesia senang uang. Dalam arti, apa-apa bisa beres dengan uang. Apalagi kalau dengan bule, biasanya segala sesuatu ujung-ujungnya duit. Sebagai orang Indonesia, saya agak malu dengan pendapat ini, dan berusaha untuk meluruskan. Menurut saya, tidak semua orang Indonesia seperti itu.Â
Dan tibalah saatnya si bule datang berkunjung ke kota saya lagi, dan kami janjian untuk bertemu. Ini adalah pertemuan pertama setelah sering ngobrol online.Â
Si bule datang ke rumah saya, dan karena dalam percakapan online kami, dia mengatakan senang dengan makanan-makanan kaki lima yang ada di kota saya, terutama sate dan pete yang dia sebut "king bean", maka saya ajak dia makan di warung tenda. Kebetulan didekat tempat tinggal saya, adalah area warung tenda di malam hari.Â
Selesai makan, karena saya pikir saya yang menjamu dia, maka saya berinisiatif membayar. Selain itu, memang saya ingin mengubah pandangan si bule tentang orang Indonesia yang katanya sendu alias senang duit.Â
Rupanya hal ini menyinggung si bule, karena menurut dia harusnya man yang pay. Mukanya sampai merah ketika tahu, saya sudah membayar makanan kami.Â
Dikemudian hari, akhirnya saya mengerti, bahwa secara sopan santun, untuk pertemuan pertama seperti itu, memang seharusnya lelaki yang membayar. Setidaknya itulah budaya yang dia anut.Â
Pertama kali bekerja bersama dengan bule, memang awalnya ada rasa minder, selalu merasa "bawahan". Padahal, umumnya buat mereka hubungan atasan dan bawahan itu seharusnya tidak kaku tetapi tetap saling menghormati satu sama lain.Â
Namun, pandangan orang sekitar tentang bule yang kelihatannya "wah", ditambah lagi saat itu posisi semua bule ditempat saya bekerja, lebih tinggi dibanding dengan orang lokal, tetap membuat saya merasa "kecil".Â