Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Toxic Relationship antara Saudara Sekandung, Bagaimana Cara Menanganinya?

23 November 2020   23:28 Diperbarui: 24 November 2020   09:33 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: sumber: wehavekids.com)

Tadinya saya berpikir mungkin toxic relationship itu hanya ada antara sepasang kekasih. Namun, ternyata ada juga antara saudara sekandung, antara anak dan orangtua, antara teman atau sahabat, antara atasan dan bawahan. 

Intinya di antara pihak-pihak yang saling berhubungan secara rutin. Karena pasti tidak ada relationship di antara orang-orang asing yang tidak saling berhubungan.

Toxic relationship di antara orang yang bukan keluarga mungkin pada akhirnya akan mudah dilupakan. Namun bagaimana jika itu terjadi di antara orang-orang yang diikat oleh darah? Saudara sedarah yang posisinya tidak dapat digantikan oleh orang lain. Teman, pacar, atasan, bahkan mungkin suami atau istri masih bisa digantikan oleh orang lain, namun saudara atau orangtua mana bisa?

Antara orangtua dan anak, biasanya orangtua yang akan selalu berusaha supaya anaknya baik-baik saja, akur dengan saudara, saling peduli satu sama lain sekalipun masing-masing sudah berkeluarga. 

Saya termasuk orang yang percaya bahwa kasih orangtua adalah kasih yang paling tulus yang pernah diterima seorang anak. 

Sejelek-jeleknya kelakuan seorang anak, orangtua akan selalu menerima dengan tangan terbuka dan sabar menunggu perubahan si anak kearah yang lebih baik. Walaupun semua itu dijalani dengan penuh air mata, kesabaran, dan pengorbanan yang seolah tidak ada selesainya. 

Mungkin jika ada toxic relationship yang paling menyakitkan namun harus tetap dijalani, itu adalah hubungan yang kurang baik antara anak dan orangtua di mana anak sering menyakiti hati orangtua secara sengaja atau tidak sengaja.

Lebih sering, orangtua tidak akan menyudahi hubungan, namun anaklah yang biasanya menyudahi hubungan dengan alasan yang dia anggap benar.

Bagaimana toxic relationship antara saudara sekandung bisa terjadi? 

Bisa karena tidak saling menghormati, salah paham berkepanjangan, tidak ada kerendahan hati mengakui kesalahan, kakak yang menuntut adik untuk mengikuti kemauannya tanpa sadar bahwa si adik juga sudah dewasa dan punya prinsip hidup sendiri, rasa ingin dihormati berlebihan karena merasa usia lebih tua.

Saudara sekandung, meski dibesarkan oleh orangtua yang sama dan di rumah yang sama, bisa saja setelah dewasa berpisah dan tinggal berjauhan. Punya kegiatan masing-masing yang berbeda, dan tuntutan hidup juga berbeda. 

Semua itu bisa jadi mengubah karakter sesuai tuntutan hidup masing-masing walau karakter dasar mungkin tidak hilang. Rasa minder ketika saudara yang pergi jauh pulang ke rumah dan kembali bergaul dengan saudara-saudara yang dari dulu, sekarang, dan mungkin selama-lamanya di situ-situ saja, tidak pernah merasakan lingkungan yang lain, sehingga kaget ketika saudaranya pulang dalam keadaan berbeda. Atau mungkin sebaliknya memang saudara yang baru datang kembali memang bersikap tinggi hati. Ego mulai bermain.

Kakak menuntut adik untuk menghormati dengan alasan yang lebih muda harus menurut dan hormat pada yang lebih tua. Mungkin si kakak lupa, adiknya bukan anak kecil lagi. 

Ilustrasi (Sumber: sumber: wehavekids.com)
Ilustrasi (Sumber: sumber: wehavekids.com)

Lupa kalau orang dewasa, walaupun adik sendiri, bisa punya prinsip hidup sendiri yang mungkin berbeda dengan kakaknya. Lupa kalau semua orang harus dihormati, bukan cuma yang lebih muda menghormati yang lebih tua.

Saudara yang melihat saudaranya yang lain 'berlebih' dan menuntut untuk dibantu. Dia tidak sadar kalau apa yang kelihatan belum tentu sama dengan kondisi sebenarnya. Meski saudara, tetap ada batasan ketika sudah sama-sama dewasa, apalagi jika masing-masing sudah berkeluarga.

Saudara yang bisanya cuma mengontrol dan memerintah namun tidak mau ikut ambil bagian ketika ada pekerjaan yang semestinya dilakukan bersama-sama sebagai satu keluarga. 

Menuntut saudara yang single untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan bersama-sama dengan alasan kalau sudah berkeluarga tidak ada waktu.

Sebenarnya, secara logika semua dapat diselesaikan jika masing-masing rendah hati mengakui kesalahannya dan mau saling menghargai apapun dan bagaimanapun saudaranya yang sekarang.

Tetapi, bagaimana jika masing-masing tidak mau mengakui kesalahannya dan malah mencari pembenaran dengan cara berusaha mengucilkan salah seorang dengan mencari sekutu yang masih didalam keluarga sendiri. 

Berusaha membuat semua orang setuju bahwa satu orang ini "tidak benar". Dalam setiap pertengkaran selalu berusaha menjatuhkan mental dengan kalimat-kalimat seperti: 

"Semua orang bermasalah dengan kamu!"

"Tidak ada yang cocok dengan kamu!"

Selalu berusaha mencari-cari masalah, membesar-besarkan masalah dan bukannya menyelesaikan masalah. Apalagi jika ada saudara yang lain yang malah memanfaatkan situasi itu. Menjadikan satu orang yang terlanjur disetujui sebagai orang yang tidak benar atau biang masalah itu, sebagai kambing hitam, demi tujuan yang hanya dia sendiri yang tahu.

Jika berada dalam situasi seperti itu, dan menjadi seorang yang dianggap "tidak benar" atau biang masalah, daripada bertahan dalam lingkaran setan, saya kira tidak salah kalau sementara kita menjauh demi melindungi diri sendiri. Kita mengasihi dan menyayangi saudara-saudara kita tetapi pada saat yang sama kita pun menyayangi dan mengasihi diri sendiri.

Jika sudah terlanjur terpengaruh dengan situasi itu, dan mulai melihat diri sendiri negatif, sebaiknya berusahalah menyembuhkan diri sendiri, menguatkan hati dan kembali menemukan hal-hal positif dalam diri. 

Saya rasa ketika seseorang sudah dapat menyembuhkan dirinya sendiri, pada akhirnya dia pun akan belajar menghadapi orang-orang yang berusaha membuatnya menjadi orang yang "salah" dalam segala hal, dengan lebih baik. 

Dulu mungkin kita tidak tahu bagaimana menghadapi orang-orang itu dengan benar, karena toh mereka saudara kita sendiri yang rasanya tidak mungkin berbuat jahat pada kita. 

Namun mereka juga manusia biasa. Mungkin mereka tidak sadar kalau apa yang dilakukan itu salah, mungkin mereka hanya kesal karena sesuatu hal, emosi, dan lupa kalau tindakannya sudah terlalu jauh dan tidak benar. Mungkin juga mereka punya masalah dengan dirinya sendiri yang tidak diakui dan kita sendiri, sebagai saudaranya, tidak mengerti.

Yang paling bertanggung jawab atas diri kita adalah kita sendiri. Jangan pernah membiarkan diri dibully sekalipun itu oleh saudara sendiri. 

Menyingkir sejenak bukan untuk memutuskan tali persaudaraan, tetapi untuk suasana yang lebih baik di kemudian hari. Setidaknya, jika kita menjadi pihak yang menjadi korban, kita tidak membiarkan suasana menjadi lebih buruk untuk diri sendiri. (VRGultom)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun