Kalau mengambil dua contoh kasus dari pemilihan umum di Indonesia dan di Amerika, ada kesamaan di mana ada kandidat mengklaim bahwa dirinya menang padahal proses penghitungan suara belum selesai dilaksanakan dan belum ada hasil yang dapat disimpulkan.
Tetapi mengapa mereka begitu percaya diri bahwa mereka 'sudah' menang?
Ada pepatah dalam bahasa Inggris: "Fake it till you make it" yang kira-kira artinya disarankan untuk mengimitasi atau meniru rasa percara diri, optimis, dan segala yang positif agar seseorang dapat menyadari semua kualifikasi itu dalam kehidupan mereka yang nyata.
Memang sih kalau feeling kita yakin akan sesuatu, biasanya semua itu memang yang akan terjadi. Tetapi menurut pengalaman pribadi, feeling itu tidak dibangun dalam sesaat atau ibarat mengikuti lomba, feeling untuk menang itu tidak muncul tiba-tiba pada saat pengumuman pemenang.Â
Saya rasa feeling itu sudah terbangun dengan sendirinya dari semenjak latihan awal sebelum hari perlombaan. Logikanya, jika tidak ada feeling positif, mungkin untuk berlatih juga malas dan kurang semangat.
Beberapa headhunter, biasanya melontarkan pertanyaan yang sama kepada saya, setelah proses interview atau test dengan client calon pengguna jasa saya selesai,"How do you feel?"
Dan biasanya saya dapat merasakan apakah proses kira-kira akan dilanjutkan atau tidak. Memang feeling itu tidak selalu benar, tetapi lebih sering benar. Tentunya ini tentang feeling yang jujur, bukan yang palsu.
Jika saya tidak mempersiapkan diri, maka secara feeling saya sudah terpengaruh dan hanya berharap pada faktor keberuntungan saja. Tetapi jika kita benar-benar mempersiapkan diri, setidaknya rasa percaya diri, optimis, dan harapan-harapan positif itu, mengikuti langkah kita.
Mungkin juga persiapan diri yang matang itu yang membangun rasa percaya diri. Dan biasanya rasa percaya diri ini justru tidak akan menunggu hasil akhir, namun tetap melangkah dengan percaya diri. Yakin kemenangan itu akan didapat walau tidak tahu kapan dan dimana.Â
Dan tentu saja, feeling positif itu tidak harus membuat kita langsung mengklaim bahwa sesuatu telah terjadi. Namanya juga feeling, bukan kenyataan yang sudah terjadi. Kalimat "saya menang" dan "saya akan menang" jelas memiliki makna yang berbeda.
"Saya menang" artinya saya sudah menang, dan itu sudah terjadi. Sedangkan kalimat "saya akan menang" adalah sebuah harapan yang belum terjadi. Berharap dan yakin akan menang, mendapatkan sesuatu, berhasil akan sesuatu adalah hal yang positif, tetapi menyatakan saya menang, saya mendapatkannya, saya berhasil, dsj padahal itu belum terjadi, bisa jadi adalah sesuatu yang mendahului kehendak Yang Maha Kuasa.
Ok lah, ada kelompok orang di dunia ini yang tidak percaya keberadaan dan campur tangan Tuhan, jadi tidak perlu bicara tentang Yang Maha Kuasa. Tetapi tetap saja, sesuatu yang belum terjadi tidak dapat dinyatakan sudah terjadi. Bukankah masih ada proses-proses yang sedang atau harus dilakukan agar sesuatu itu terjadi?
Percaya diri itu wajib, bersiap diri akan apa yang bakal terjadi di masa depan itu harus, tetapi sebaiknya jangan mengklaim bahwa sesuatu sudah terjadi, padahal belum. Apalagi jika pernyataan itu tidak dibarengi dengan fakta-fakta pendukung.
Terlalu percaya diri pun adalah sesuatu yang berbahaya. Orang yang terlalu percaya diri biasanya merasa terlalu sempurna sehingga yakin tidak dapat membuat kesalahan. Biasanya orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang mencari perhatian. Sementara orang yang percaya diri, adalah orang-orang yang melakukan kesalahan tetapi berusaha untuk tidak melakukannya lagi. (VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H