Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelecehan Seksual Terjadi Bukan karena Kesalahan Korban

9 Januari 2020   01:54 Diperbarui: 9 Januari 2020   03:26 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi korban pelecehan sexual (photo: kompas.com)

Korban perkosaan biasanya perempuan karena perempuan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan kaum lelaki. Dan sering kali, terutama dinegara berkebudayaan Timur, wanita cenderung dihakimi oleh masyarakat karena cara berpakaian yang dianggap mengundang, gerak-gerik yang dianggap membuat pria tergoda, dst.

Padahal sekalipun mereka berpakaian minim, apakah para pelaku itu berhak memperlakukan mereka dengan tidak senonoh? Tentu tidak! Seseorang berbuat tidak senonoh karena tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, bukan karena korban membuatnya tergoda secara birahi, bukan juga karena ada kesempatan. Tidak perlu juga menyalahkan setan yang menggoda karena jika tidak berusaha membuat manusia jatuh kedalam dosa, bukan setan namanya.

Kasus Perkosaan Reynhard Sinaga seolah mengubah persepsi bahwa korban pelecehan sexual biasanya wanita yang berpakaian minim, bergaul di tempat-tempat hiburan malam, dsj. Ternyata lelaki juga dapat menjadi korban pelecehan sexual.  Dan dalam kasus yang baru-baru ini diberitakan, pelakunya adalah seorang yang dikatakan terpelajar, ramah, supel, flamboyan. Dan sungguh memalukan karena dia adalah saudara sebangsa setanah air kita sendiri, yang melakukan tindak kejahatannya di luar negeri, dimana dia adalah seorang asing/tamu disana.

Sinaga menyasar para pria muda berusia 20an dan korbannya cukup banyak. Kasus ini membuka mata kita, bahwa baik pria maupun wanita sangat mungkin menjadi korban pelecehan sexual. Siapun korbannya, baik pria dan wanita, secara emosional pasti mereka terguncang. Malu, image diri yang rusak, merasa tidak berguna, jijik, stress. Bahkan dikabarkan, korban pelecehan sexual Reynhard Sinaga ada yang melakukan percobaan bunuh diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, secara psikologis wanita sering lebih kuat dan tekun, sementara pria digambarkan sebagai sosok dengan fisik yang kuat dan identik dengan pelindung wanita. Bagaimana rasanya seorang pelindung, bagi yang dianggap mahluk lemah, mengalami pelecehan seperti apa yang dilakukan Reynhard Sinaga? Saya rasa, harga dirinya pasti hancur.

Untunglah media baru memberitakan hal ini setelah vonis dijatuhkan. Jika beritanya dibahas setiap hari oleh berbagai media, seperti di Indonesia, mungkin para korban menjadi lebih sulit ditolong dan disembuhkan. Karena penghakiman masyarakat terkadang tidak sama dengan penghakiman pengadilan. Masyarakat menghakimi berdasarkan pemberitaan media, sementara pengadilan menghakimi berdasarkan berbagai macam pemeriksaan, pencarian barang bukti, dll.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari Kasus Reynhard Sinaga ini. Kasus ini menunjukan pada kita bahwa pelecehan sexual bukan terjadi karena 'kesalahan' korban seperti berpakaian minim, berperilaku menggoda, dst. Kesalahan para korban mungkin adalah terlalu percaya pada penampilan yang ramah dan menyenangkan, berada dalam kondisi setengah mabuk sendirian, terlalu percaya kepada orang yang baru dikenalnya.

Jadi berhentilah menghakimi korban pelecehan sexual. Sebaliknya bantulah mereka melewati masa-masa trauma setelah kejadian yang tidak menyenangkan itu. Nyatanya bukan cuma wanita, yang dianggap mahluk lemah, yang dapat menjadi korban perkosaan. Tetapi pria, yang identik dengan sosok yang kuat pun dapat menjadi korban.

Selain korban langsung akibat tindakan yang dilakukan Reynhard Sinaga yang mengalami 'masa-masa sulit', saya rasa keluarga pelaku pun mengalami masa-masa sulit. Apa lagi dikabarkan, keluarganya tidak tahu mengenai 'sisi gelap' Reynhard. Keluarga pun pasti merasa sedih, malu dengan kelakuan anaknya. Bisa jadi mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas kelakukan anaknya. Semoga dengan adanya pemberitaan kasus ini, semua pihak dapat melihat kasus ini dengan jernih dan tidak perlu menghakimi orang tua dan keluarga si pelaku.  

Saya teringat tentang diskusi di sebuah komunitas Katolik, tentang 'pernikahan sesama jenis', beberapa tahun lalu, dimana ketika itu, seingat saya, Amerika mengumumkan bahwa mereka mengakui pernikahan sesama jenis. Menurut Gereja Katolik, pernikahan terjadi antara pria dan wanita (heterosexual), sedangkan untuk sesama jenis tidak dapat disebut pernikahan, tetapi hanya 'homosexual union'.

Dalam  pernikahan ada take & give atau saling mengasihi satu sama lain (love), menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan. Sementara dalam homosexual union, yang ada hanyalah saling memanfaatkan (use) secara sexual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun