Dari sini muncul istilah-istilah baru yang berperan dalam perubahan pandangan anak muda terhadap pernikahan. Beberapa di antaranya, seperti Lonely Marriage, Situationship Marriage, Serial Monogamy, Marriage Burnout, dan Marriage Sabbatical, mencerminkan perubahan ekspektasi terhadap pernikahan yang dianggap semakin "berat" dan kurang fleksibel. Berikut penjelasan beberapa istilah yang populer:
Lonely Marriage: Banyak orang menyadari bahwa pernikahan tidak selalu berarti bahagia. Banyak pasangan yang merasa terjebak dalam pernikahan yang sepi dan kurang memiliki koneksi emosional, membuat anak muda takut mengalami hal serupa.
Situationship Marriage: Beberapa anak muda lebih nyaman dengan hubungan tanpa ikatan formal. Mereka merasa bahwa komitmen dalam hubungan tidak perlu diwujudkan melalui pernikahan. Fenomena ini membuat banyak orang tidak lagi memandang pernikahan sebagai tujuan utama dalam hubungan.
-
Serial Monogamy: Gagasan bahwa pernikahan bisa berakhir dan dimulai kembali menjadi pola pikir yang umum di kalangan anak muda. Hal ini membuat pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ikatan seumur hidup, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dicoba beberapa kali jika tidak berhasil.
4. Prioritas Hidup yang Berubah: Self-Development dan Kebahagiaan Pribadi
Anak muda kini lebih memprioritaskan kebahagiaan pribadi dan self-development dibandingkan memulai hubungan jangka panjang yang kompleks. Pengembangan diri dalam hal karier, hobi, dan kesehatan mental menjadi semakin penting. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa membangun diri terlebih dahulu adalah hal yang bijak sebelum memasuki pernikahan. Gaya hidup ini memudahkan mereka menikmati masa lajang dan kebebasan tanpa merasa "tertinggal" hanya karena belum menikah.
Mengapa Istilah-istilah Baru Ini Mencerminkan Perubahan Nilai?
Secara umum, istilah-istilah seperti Flexitarian Marriage, Marriage Sabbatical, dan Marriage Burnout menunjukkan bahwa generasi muda kini menginginkan pernikahan yang lebih fleksibel dan fokus pada kebahagiaan pribadi. Ketimbang melihat pernikahan sebagai komitmen kaku, banyak anak muda yang mencari bentuk hubungan yang bisa memberikan ruang bagi mereka untuk tetap berkembang secara mandiri. Flexitarian Marriage, misalnya, menggambarkan pernikahan yang memungkinkan kedua pihak tetap memiliki kebebasan pribadi.
Kesimpulan
Minat untuk menikah memang semakin menurun di kalangan anak muda Indonesia. Berbagai faktor seperti perubahan sosial, tekanan ekonomi, kekhawatiran terhadap komitmen, serta prioritas hidup yang berubah, turut mempengaruhi keputusan mereka. Kini, banyak anak muda yang melihat pernikahan sebagai sesuatu yang bisa ditunda atau bahkan dihindari demi kebahagiaan dan pengembangan diri.
Namun, ini bukan berarti pernikahan akan hilang sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak yang percaya bahwa mereka tetap akan menikah ketika benar-benar merasa siap. Fenomena ini menunjukkan bahwa pernikahan telah beralih dari sekadar keharusan sosial menjadi pilihan pribadi yang lebih matang dan penuh pertimbangan.