Ketika kita mendengar "Revolusi Hijau," biasanya pikiran langsung melayang ke pertanian berkelanjutan atau pelestarian lingkungan. Namun, dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia, istilah ini terasa lebih ambigu.Â
Benarkah ini sebuah langkah besar untuk perubahan? Ataukah sekadar sandiwara politik demi menarik simpati publik? Mari kita lihat lebih dalam.
Latar Belakang "Revolusi Hijau" di Pilkada
Dalam Pilkada, Revolusi Hijau merujuk pada program yang dicanangkan calon pemimpin demi menjaga lingkungan. Di tengah meningkatnya kesadaran publik akan perubahan iklim, banyak kandidat mulai menekankan isu lingkungan sebagai poin utama.Â
Dari pengelolaan sampah, penanaman pohon, hingga penggunaan energi terbarukan---semuanya dipromosikan sebagai solusi untuk masa depan.
Namun, ada keraguan besar: apakah janji-janji ini sungguh-sungguh atau hanya gimik politik demi suara?
Ambisi Besar atau Sandiwara?
Kesadaran publik yang semakin tinggi memaksa calon kepala daerah untuk mengakomodasi isu lingkungan.Â
Menurut survei, sekitar 70%Â masyarakat Indonesia kini lebih peduli terhadap lingkungan dibandingkan beberapa tahun lalu, menciptakan tekanan pada para calon.Â
Di sisi lain, banyak dari program yang dijanjikan hanya berakhir sebagai janji manis. Dalam realitas politik, banyak proyek penghijauan besar yang sekadar slogan; misalnya, rencana penanaman pohon yang megah sering kali gagal dalam perawatan sehingga banyak pohon yang mati sebelum sempat memberikan manfaat.