Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, generasi milenial dan Gen Z menemukan cara-cara kreatif untuk menarik perhatian perekrut. Salah satu tren terbaru yang ramai diperbincangkan adalah penggunaan banner dengan tagar #Desperate di LinkedIn. Fenomena ini menggambarkan pergeseran cara anak muda mengekspresikan keputusasaan mereka dalam mencari pekerjaan, mengabaikan pendekatan tradisional seperti #OpenToWork dan memilih cara yang lebih berani dan jujur. Namun, pertanyaannya adalah, apakah strategi ini benar-benar efektif? Atau malah beresiko menurunkan citra diri di mata perekrut?
Sulitnya Mendapat Pekerjaan, Realita yang Makin Nyata
Tidak bisa dipungkiri bahwa mencari pekerjaan di era digital ini menjadi tantangan besar. Teknologi yang semakin maju, otomatisasi pekerjaan, dan ketatnya persaingan membuat banyak pencari kerja, terutama lulusan baru, merasa terjebak dalam siklus pencarian tanpa akhir. Pandemi COVID-19 juga memperparah situasi ini, dengan banyak perusahaan yang membatasi perekrutan dan lebih memilih kandidat yang memiliki pengalaman kerja yang solid.
Fenomena tagar #Desperate ini seolah mencerminkan rasa frustrasi yang dirasakan oleh banyak pencari kerja saat ini. Mereka merasa bahwa cara konvensional untuk mendapatkan pekerjaan, seperti melamar melalui situs pencari kerja atau menggunakan fitur #OpenToWork di LinkedIn, belum membuahkan hasil. Keputusasaan ini akhirnya diekspresikan melalui tagar #Desperate---sebuah pernyataan yang lugas dan jujur.
Tagar #Desperate: Apakah Ini Tepat?
Bagi sebagian orang, penggunaan tagar #Desperate dianggap sebagai langkah ekstrem yang bisa beresiko merusak personal branding di LinkedIn, platform yang dikenal sangat profesional. Seth Godin, seorang ahli marketing terkenal, menyebut fenomena ini sebagai "Purple Cow," merujuk pada sesuatu yang sangat berbeda dan menonjol dibandingkan dengan yang lain. Menggunakan tagar #Desperate bisa diibaratkan sebagai menjadi sapi ungu di antara sapi-sapi biasa---ia menarik perhatian karena berbeda. Namun, berbeda tidak selalu berarti lebih baik.
Beberapa perusahaan mungkin melihat penggunaan tagar ini sebagai tanda ketulusan, sebuah cara untuk menunjukkan bahwa pencari kerja ini benar-benar membutuhkan pekerjaan dan siap bekerja kapan saja. Namun, di sisi lain, langkah ini bisa membuat pencari kerja terkesan kurang percaya diri atau bahkan terlalu putus asa, yang bukan citra yang ideal di mata banyak perekrut.
Alih-alih, strategi ini bisa memberikan dampak yang beragam tergantung pada sudut pandang perekrut. Ada perusahaan yang mungkin tertarik dengan kejujuran dan keberanian ini, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai sinyal bahwa kandidat tersebut tidak memiliki nilai jual yang kuat. Jadi, sebelum memutuskan untuk memasang tagar #Desperate, penting untuk mempertimbangkan risiko dan konsekuensinya.
Solusi Lain: Menjadi "Purple Cow" dengan Cara Lain