Harus diakui, pembicaraan mengenai perubahan iklim dimonopoli oleh bahasa ilmiah. Misalnya, banyak istilah baru yang tidak mudah dipahami, bahkan oleh mereka yang menempuh pendidikan tinggi. Dominasi ilmiah ini membuat isu itu eksklusif di kalangan tertentu yang paham baik karenamenempuh pendidikan yang relevan maupun serius mempelajarinya secara otodidak.
Namun, pada kenyataannya mereka yang terdampak serius adalah orang-orang miskin yang hidup di pedesaan. Mereka kesulitan menghadapi fenomena baru ini karena pengetahuan mereka mengikuti jalur tradisi. Misalnya, banyak petani memahami pertanian dengan sangat baik berdasakan pengalaman turun-temurun, tetapi kewalahan membaca tanda-tanda musim yang makin luntur dan serbuan hama penyakit yang berubah-ubah. Dampaknya tentu saja signifikan. Tiap tahun hasil pertanian terus merosot.
Ironisnya pengetahuan yang dipunyai para pakar cenderung bergerak melingkar ke dalam dan menumpuk makin kuat pada beberapa kelompok. Pertanyaan mengenai solidaritas sosial memang jadi penting disini. Bagaimanapun juga kelompok berpengetahuan ini ada di sini, warga negara yang sama, bicara bahasa yang sama, dan bahkan sebagian besar keluarganya disini. Sudah merupakan tanggung jawab mereka untuk membuat pengetahuan itu terdistribusi secara baik. Tetapi tak sedikit pula yang malahan sibuk dengan urusan belahan dunia lain. Lebih peka dan cekatan mengomentari masalah ditempat-tempat nun jauh disana daripada mengatasi persoalan di kampung sendiri.
Banyak di antaranya memang membantu warga disini, termasuk menguji studi-studi mereka di pedesaan. Tetapi tidak sedikit yang setia dengan pendampingan tersebut, apalagi mata rantai pendanaan terbatas menyulitkan uji coba pada satu tempat berlanjut di tempat lain. Apalagi, hasil yang nampaknya baik, tidak selalu diterima dan diteruskan oleh para pemimpin politik lokal. Selain karena politikus tidak paham, kepentingan jangka pendek lebih utama daripada isu-isu yang mereka pandang abstrak. Alhasil, perubahan iklim tetap jadi konsumsi kaum epistemik dari kalangan kampus, peneliti, dan jurnalis sains.
Isu ini dapat menyebar dan tersebar tidak dengan cara biasa. Mengubah metode sirkulasi informasi dari verbal ke aksi adalah salah satunya. Misalnya, memperbanyak kampung contoh yang terus didampingi, kemudian menjadi replika bagi kampung berikutnya dan berikutnya. Program kampung iklim KLHK saat ini sudah bagus. Yang perlu terus dikembangkan dari sana adalah warga kampung harus mempunyai kelompok epistemiknya sendiri yang sanggup membaca tanda-tanda perubahan dan menyiapkan mitigasi dan adaptasinya secara bersama.
Replikasi melalui tiru dan meniru adalah distribusi pengetahuan yang efektif. Tidak mudah memang. Menerjemahkan bahasa ilmiah ke bahasa awam sama sulitnya dengan mengerjakan riset ilmiah itu sendiri. Namun dengan pekerjaan yang paralel antara verbal dan tindakan, upaya ini terbukti sukses di beberapa tempat.
Salah satu alasannya adalah karena warga diajak mengobservasi lingkungannya sendiri, menyadari perubahannya, lalu mulai menghitung implikasi masa kini dan menegok dampak berikutnya bagi anak-anak mereka. Cara ini efektif, tanpa harus berkotbah keadilan antargenerasi atau konsep proyeksi emisis dan dampak. Buat mereka, berpikir dari keluarganya sendiri adalah yang utama sebagai awal untuk menentukan tindakan.
Keluarga adalah dunianya dan dunia adalah keluarganya. Walau smartphone saat ini sudah mengubah batas-batas imajinasi relasi, benda kecil itu tidak punya kapasitas mengubah cara berpikir dan tindakan menghadapi perubahan nyata seperti kemerosotan ekologi. Namun alat-alat baru ini juga bisa disulap untuk menjelaskan sekaligus memperlihatkan hubungan antara fakta ilmiah yang abstrak dengan kenyataan sehari-hari.
Mumpung smartphone sudah jadi kemeriahan baru. Fungsinya sudah bisa dimaksimalkan untuk memandu warga bahwa masalah lingkungan seperti iklim yang berubah, bukan hanya di Tv, berita, atau di layar hp, tetapi terutama di sekitar tempat tinggal mereka. Misalnya, smartphone dapat melayani warga dengan memaksimalkan penggunaan peta untuk mengidentifkasi dampak, membaca tanda iklim, dan seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H