Beberapa Walikota di Italia sudah mulai kehilangan kesabaran mereka karena banyak warga yang membandel.[1] Ada orang yang bawa anjingnya jalan-jalan, mungkin dia kasian anjing itu stres dikekang berhari-hari di rumah. Lainnya, mendatangkan penata gaya rambut ke rumah, entah buat apa pula kecantikan di masa sulit itu. Dan ada anak muda yang demikian berhasrat main pingpong di pinggir pantai. Astaga...betapa konyolnya! Tapi begitulah Italia.
Negara itu suka ngumpul. Banyak tradisi kongkow di Eropa berasal dari negeri Pizza itu. Mereka bisa menghabiskan pagi harinya dengan bergelas-gelas kopi sembari bersenda gurau dengan siapa saja yang dia temui di warung kopi. Ada kalanya ada yang minta kopi gratis. Tidak masalah! karena ia pasti dibayari oleh pengunjung restoran yang lain. Itu negeri senang nongkrong. Titik!
Ketika Corona datang, budaya kasual mereka ditubruk seketika. Semua orang ibaratnya harus masuk penjara rumah. Secara psikis perubahan mendadak itu, tentu menderita sekali. Dari keseharian dandan cantik untuk tampil gaya di jalan, seketika lesu kusut di rumah. Itu baru Italia, negeri Eropa yang konon sudah banyak terpengaruh individualisme.
Mari kita bayangkan lockdown di Indonesia. Sudah bisa dibayangkan heboh dan kusutnya. Baru saja diumumkan, om telpon ponakan, orang tua telpon anak, kakak telpon adik, sepupu telpon saudaranya, dan seterusnya.
Mereka berlomba-lomba telpon keluarga, tetangga, kenalan buat ngumpul di rumah karena moto paling beken di negeri ini, makan ga makan asal ngumpul. Jangankan karena korona, urusan sepele saja masyarakat di negeri ini butuh orang. Bumbu dapur habis, ke tetangga. Rumah sepi, ada tetangga. Belum lagi rumahnya tidak ada batas. Tetangga sebelah adalah rumahku dan rumahku adalah tetangga sebelah.
Negeri ini sudah terlanjur duduk bareng, makan bareng, berantem bareng, diam-diaman, lalu itu semua segera lupa kemudian seiring sejalan lagi. Tengok saja sosial media. Seseorang menderita sekali kalau dia tidak mengomentari orang lain. Hal-hal sepele, lho. Lipstik, gaya rambut, warna pakaian, cara jalan bahkan kentut pun jadi gosipan.
Dalam kontak keseharian pun begitu, ramai dan heboh. Si anu ketemu si ono, rame. Si aman ketemu si momon, seruuu. Pokoknya, tiada waktu tanpa banyolan, gosip, bahkan pertengkaran. Karena mereka doyan begitu. Seseorang ada karena tetangga dan tetangga ada karena seseorang. Mereka lebih menderita karena tidak ketemu orang, daripada terkunci dalam kamar karena ancaman terbunuh virus tak kasat mata.
Mungkin ada baiknya usulan lockdown itu dipikirkan matang-matang. China barangkali sukses karena dipaksakan dengan tangan besi. Italia gagal karena orang-orangnya gemar bertukar sapa. Indonesia, apa lagi.. Jangan-jangan ketika di-lock down justru virus makin menjadi-jadi. Mereka saling kerumun ketika ada yang sakit, dikerok, pijat, dan akhirnya tertular. Jadi....janganlah terburu-buru.
Sekedar saran saja, jangan naif membayangkan situasi lockdown seperti rumah penggede di beberapa real estate, mudah untuk warga di sana diancam dengan teror corona. Mereka adalah individu yang lebih sadar, doyan berselancar informasi, sehingga lebih paham dampak, karenanya lebih jeri dengan ancaman kematian dari virus ini.
Di masyarakat bawah, kesadaran tidak muncul secara individual, tetapi lahir secara kolektif. Sulit bagi mereka untuk serta merta menerima begitu saja suatu paksaan tanpa prasangka bersama. Di situlah tukar cerita dan kebenaran dalam versi mereka dibentuk sekaligus ditetapkan. Karena itu, belum terlambat untuk membangun kesadaran itu secara kolektif. Mungkin tidak untuk saat ini, tetapi pada suatu saat. Karena kata seorang pakar, akibat turbulensi iklim pandemi bukan lagi soal "jika" tetapi kapan dia akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H