Mohon tunggu...
Caminar yVolar
Caminar yVolar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuka kuliner, travel, dan senang ngobrol.

Camina y vuela, luego flamea el corazón para descubrir la verdad.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpuluhan: Berkurban untuk Siapa?

11 Agustus 2019   16:30 Diperbarui: 11 Agustus 2019   21:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertama-tama selamat merayakan Hari Raya Idul Kurban untuk saudara-saudara saya yang muslim. Kalau diterjemahkan dalam bahasa populer, lebih dari sekedar ritual, momen kurban adalah persembahan diri untuk sesama. Karena itu, kurban mempunyai makna universal, yang dapat pula dilihat dalam banyak ajaran agama. Tradisi kurban mempunyai banyak narasi. Selain Islam, agama nasrani adalah salah satunya.

Kisah Abraham atau Ibrahim mempersembahkan Ishak sebagai kurban bakaran untuk Tuhan adalah salah satu ujian kurban kesetiaan tertinggi dalam sejarah Perjanjian Lama. Sementara kurban Yesus di salib untuk dosa manusia merupakan keyakinan iman tertinggi dalam kepercayaan Kristiani. Di luar narasi itupun, banyak sekali cerita kurban dan tradisi yang menyertainya. Saudara-saudara Muslim menampilkan makna kurban menjadi relasi sehari-hari, untuk berbagi dan berbagi. Suatu persembahan kasih untuk sesama.

Tetapi kurban juga punya cerita lain. Beberapa waktu lalu, muncul tayangan singkat di youtube, dua orang Pendeta rebutan mic di mimbar ibadat. Menurut laporan Tribun, mereka ribut karena mempersoalkan siapa yang memimpin pelayanan pada kesempatan itu (Sumber). Namun media sosial sudah bergulir dengan cerita yang lebih memalukan. Misalnya, demikian banyak komentar atas video itu di youtube menduga keras, rebutan mic sebetulnya rebutan uang pelayanan. Apapun alasan di belakang itu, seperti soal manajemen, reputasi pendeta, dan seterusnya, ujung-ujungnya adalah UANG. Komentar sarkastis itu lebih banyak lagi. Bikin Malu !!

Di luar rebutan mic yang terbilang receh, gugatan utama patut ditujukan untuk makna perpuluhan. Banyak anggapan yang hampir diyakini sebagai benar oleh umat, bahwa uang yang dikumpulkan itu adalah persembahan untuk Tuhan. Hmm...mari kita pakai akal sehat yang juga diciptakan Tuhan. Kalaulah perpuluhan itu untuk Tuhan, pastilah ada bukti transfer atau sejenis itu bahwa jatah untuk Tuhan sudah diberikan. Atau kalau Pendeta yang mengirimkan, tentu ada pertanggungjawabannya. Saya senyum-senyum sendiri saat membayangkan Tuhan punya rekening bank. Dia menunggu setoran tiap minggu dan mengucapkan terima kasih tiap kali cicilan perpuluhan masuk. Bah..!!

Mongol, jagoan Standup Comedy asal Sulawesi Utara sudah berkali-kali bikin guyon yang ada benarnya. Mongol dengan penghasilan ratusan juta per bulan menyumbang perpuluhan demikian banyak. Tetapi segera setelah Uang untuk TUHAN itu ditransfer, dia segera awas dan was-was melihat Ibu Gembala pakai cincin berlian. Gosip pun menyebar. Perpuluhan telah ludes untuk cincin berlian. Kurban untuk TUHAN? Ah..! Nanti dulu. Saya agak risih melihat Pendeta dengan kekayaan yang menyilaukan mata. Mobil harga milyaran, kostum jutaan, doyan merek mahal, dan seterusnya. Bukankah ini tubuh mamon berbalut ayat.

Pertama-tama, seringkali mereka tidak punya profesi lain, selain membawa ayat dan melayani jemaat. Sumber utama kekayaan yang menyesakkan dada itu, dari mana lagi kalau bukan uang pelayanan dan perpuluhan. Kalaupun itu uang jasa untuk dia, apakah akumulasi dan show off seperti itu wajar? Yang bikin tambah miris, banyak lho jemaat yang menyumbang dari kemiskinannya karena percaya itu uang untuk Tuhan.

Kedua, tutur ayat yang mereka pakai untuk mengeruk uang jemaat, tidak direfleksikan dalam perilaku. Setelah berkotbah tentang kasih, acapkali berbusa-busa, bahkan tampil di TV, eh ketemu orang kecil langsung buang muka. Dia hanya mau gaul di kalangan atas karena kekayaan yang demikian gemuk itu membatasi dia untuk melewati batas-batas sosial yang kaku. Senyum pun amat mahal karena sekali senyum plus ayat, harganya amboiii. Cukup untuk hidupin ratusan orang miskin sekian bulan. Banyak orang merelakan uangnya untuk TUHAN karena obral ayat sang Pendeta. Dia dianggap mewakili suci-nya ayat. Padahal perilakunya sama sekali tidak suci. Kalau dia dibayar hanya sebagai obral suara, harusnya tidak beda dengan pengumuman parkir di mall. Karena kalau dianggap sebagai suri tauladan, jemaat harusnya minta diskon berkali-kali. Perilakunya jauhhhh dari suri tauladan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun