“Air tanah di sini sudah tidak bisa dipakai karena airnya asin, tidak enak untuk minum dan untuk mandi agak lengket di badan.” Ungkap Ibu Nur Isah, pemilik warung di dermaga Muara Angke Jakarta Utara mengenai kondisi air bersih di sekitar Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.
Krisis air bersih menjadi masalah klasik di Jakarta. Namun sampai tahun 2022 ini, kuantitas, kontinuitas maupun aksesnya masih buruk. Awal Januari lalu saja, pasokan air bersih dan air minum dari PAM untuk warga Kampung Baru Kubur Koja dan warga Ancol, Jakarta Utara tersendat selama beberapa bulan.
Krisis air bersih di Jakarta disebabkan oleh banyak faktor. Di daerah pesisir Jakarta Utara, sulitnya akses air bersih disebabkan CAT (Cekungan Air Tanah) sudah tercemar oleh air laut sehingga sumber air menjadi asin.
Penyebab lainnya adalah banjir rob dan kekeringan pada musim kemarau. Warga pun terpaksa harus membeli air galon dan membeli air pikulan seharga Rp 5.000 sampai Rp 7.000 per jerigen.
“Kadang bau karena saya tinggal dekat pembuangan. Jadi air dari sampah merembes saat banjir. Kalau rob, air naik dan masuk ke got. Air tanah jadi tercemar. Daerah rumah saya biasanya banjir kalau rob. Jadi air yang masuk ke rumah kotor.” Ucap Ibu Nur Isah
Pemerintah DKI Jakarta sendiri menargetkan seluruh warga Jakarta bisa dialiri air bersih pada tahun 2030. Dikutip dari channel Youtube Metrotv News, saat ini cakupan layanan air minum Jakarta baru seluas 65 persen dan menyuplai 20.725 liter air per detik untuk 918.324 sambungan pelanggan. Akibatnya, masyarakat yang tidak memiliki layanan akses air perpipaan cenderung menggunakan air tanah terus menerus yang menyebabkan penurunan muka tanah secara cepat.
Meski ada upaya lain untuk memenuhi pasokan air bersih, seperti efisiensi pemakaian air, pengadaan IPA (Instalasi Pengelolaan Air) mobile dan mobil tangki air, serta layanan master meter.
Upaya tersebut tidak benar – benar menangani masalah utama air bersih yang terletak pada lemahnya pengelolaan potensi sumber daya air di Jakarta. Dari 17 aliran sungai di Jakarta hanya 3 sungai yang dapat dijadikan bahan baku air minum, yakni Sungai Krukut, Sungai Mookervart, dan Sungai Cengkareng Drain. Sementara 14 sungai lain tidak bisa digunakan karena telah tercemar berat. Selain itu, pencemaran oleh limbah rumah tangga dan industry dibarengi dengan sistem IPAL (Instalansi Pengolahan Air Limbah) juga masih buruk.
Penggunaan air tercemar untuk keperluan sehari – hari dapat menimbulkan masalah kesehatan dan memperburuk ekonomi warga. Hal ini karena warga harus membeli air dari pedagang keliling yang jika ditotal, pengeluaran warga untuk membeli air, dalam sebulan dapat mencapai 600 ribu hingga 1 juta rupiah. Jumlah tersebut jelas melewati aturan tarif air minum maksimal sebesar 4 persen dari Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemprov Jakarta.
Bukan tidak mungkin krisis air yang tidak segara selesai dapat menimbulkan konflik antar warga di masa depan karena langkanya pasokan air. Terlebih, PBB memperkirakan di tahun 2050 akan ada 5 miliar lebih orang yang tidak dapat mengakses air bersih.
#Tulisan ini diikusertakan ke lomba CREATION HIMAKOM UHAMKA 2022