SINOPSIS NOVEL
Novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana memberikan gambaran bagaimana realitas hubungan percintaan di masa lalu. Novel ini menceritakan kisah cinta antara Yasin dan Molek yang memiliki perbedaan latar belakang. Molek merupakan anak bungsu dari Raden Mahmud, seorang bangsawan Palembang yang sangat disegani. Di sisi lain, Yasin hanyalah seorang bujang Uluan yang dianggap remeh oleh para kaum bangsawan. Perbedaan kasta di antara Yasin dan Molek lah yang membuat kedua orang tua Molek tidak menyetujui hubungan mereka.
Pertemuan di antara keduanya diawali dengan Yasin yang saat itu sedang berjualan hasil kebunnya, secara tidak sengaja menangkap manik mata Molek yang sedang bersantai di teras rumahnya. Setelah pertemuan tersebut, Yasin tak henti-hentinya memikirkan Molek. Awalnya, Yasin mengira bahwa hanya dirinya yang memiliki perasaan terhadap Molek. Namun di sisi lain, Molek juga ternyata menyimpan perasaan yang sama terhadap Yasin.
KRITIK SASTRA MIMETIK
Kritik sastra dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menemukan pemahaman dan nilai yang sesungguhnya dalam karya sastra untuk kembali disampaikan pada orang lain. Melalui pernyataan yang diungkapkan oleh Semi (1993) bahwa "kritik sastra yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik adalah kritik sastra yang disusun atas dasar pendekatan dan metode kerja yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan" (hal. 17-18). Pendekatan yang digunakan untuk analisis novel ini adalah pendekatan mimetik. Kritik ini diungkapkan oleh Luxemburg (1989) "merupakan kriteria yang mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin di dalamnya" (hal. 70). Sementara itu Yudiono KS (1990) mengungkapkan bahwa "kritik mimetik adalah kritik yang menekankan pada ketepatan atau kebenaran karya sastra dalam membayangkan atau melukiskan objek yang bersangkutan" (hal. 32).
JATUH CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA
Perasaan yang tumbuh di antara Yasin dan Molek dimulai dari ketertarikan satu sama lain di awal pertemuan mereka. Hal ini dapat kita ketahui melalui STA (1932) "Demi dilihat Yasin anak gadis itu, hatinya pun berdebar-debar lalu keluar perkataan dari mulutnya: "Itulah anak Raden Mahmud yang gadis, yang termashur cantiknya."(hal. 4) dan "Pada saat itu terasa di hatinya sesuatu yang luar biasa; badannya seolah-olah gemetar dan ia pun menjadi gelisah. Dengan tergesa-gesa ia pun pergi ke cermin melihat wajahnya. Mula-mula pucat parasnya, tetapi dengan perlahan-lahan pucat itu pun berubah menjadi kemerah-merahan." (hal. 9). Dari kedua bukti tersebut, terlihat jelas bahwa Yasin dan Molek sama-sama memiliki perasaan di pertemuan mereka, Yasin yang mengagumi Molek dan Molek yang merasa malu ketika ditatap oleh Yasin terus-menerus.
Narasi tersebut sangat sesuai dengan realitas kisah percintaan sebagian besar orang, baik dari masa lampau, sampai masa kini. Jatuh cinta pada pandangan pertama dalam hal ini bukan berarti seseorang yang baru saja bertemu, lalu langsung jatuh cinta sama lain. Salsabila (2020) mengatakan "menurut psikolog asal Universitas Groningen jatuh cinta pada pandangan pertama merupakan fenomena dimana adanya ketertarikan fisik yang sangat kuat. Ada yang hanya sebatas ketertarikan fisik, tetapi tidak jarang juga yang berlanjut sampai memiliki perasaan cinta satu sama lain."
SURAT MENYURAT
Kisah ini dilanjutkan dengan Yasin dan Molek yang saling mengirim surat. Dari situlah mereka semakin yakin terhadap perasaan satu sama lain. Contoh surat antara Yasin dan Molek dapat dilihat pada STA (1932) "Encik jangan terkejut membaca secarik surat yang tiada sepertinya ini." (hal. 51) dan "Surat ini datang dari seorang yang hina, yang berlindung pada bayang-bayang tempat kediaman encik." (hal. 63). Soedjito dan Solchen (2004) mendefinisikan "surat sebagai jenis karangan (komposisi) paparan-pengarang mengemukakan maksud dan tujuannya, menjelaskan apa yang dipikirkan dan dirasakannya". Surat menyurat sangat umum dilakukan oleh orang-orang di masa lampau untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Pada zaman dahulu, tentunya belum ada teknologi canggih, seperti telepon genggam yang dapat memudahkan komunikasi jarak jauh. Belum adanya teknologi yang canggih menyebabkan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan balasan surat pun relatif lama. Hal yang sama juga dialami oleh Yasin dan Molek yang harus saling menunggu untuk mendapatkan balasan surat.
KASTA YANG MENGHALANGI RESTU ORANG TUA
Konflik yang muncul dalam novel ini adalah hubungan antara Yasin dan Molek yang tidak direstui oleh orang tua Molek. Tidak adanya restu dari orang tua Molek atas hubungan anaknya dengan Yasin disampaikan oleh (STA, 1932):
Belum selang berapa lama ibu Yasin dengan dua orang perempuan lain dan seorang laki-laki turun dari rumah yang besar itu, balik dari meminang Molek. Mereka pulang dengan hampa tangan, karena Cek Sitti berkata terus terang, bahwa anaknya yang bungsu itu tak dapat diserahkannya kepada orang Uluan, Jodohnya mesti seorang bangsawan seperti dia pula. (hal. 81)
Narasi tersebut sangat menggambarkan betapa tidak setujunya orang tua Molek jika anak bungsunya dijodohkan dengan orang yang berbeda kasta dengan keluarganya. Apalagi, Yasin merupakan orang Uluan yang dipandang sangat rendah oleh bangsawan, seperti keluarga Molek.
Perbedaan kasta menjadi hal yang sangat umum untuk dijadikan alasan di masa lampau. Masyarakat yang memiliki kasta lebih tinggi tentunya gengsi untuk bersosialisasi dengan kasta yang berada di bawah mereka. Mereka hanya bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki kasta sama seperti mereka. Tidak hanya gengsi, mereka yang menikah dengan kasta lebih rendah akan mendapatkan hukuman. Menurut Diantari (2019):
Dalam tradisi masyarakat Bali, masih ada istilah untuk pernikahan dimana kasta mempelai wanita lebih tinggi dibandingkan kasta mempelai laki-laki. Pernikahan ini disebut dengan perkawinan nyerod. Nyerod sendiri memiliki makna terpeleset. Ada dua jenis perkawinan nyerod. Pertama, jika pengantin laki-laki berasal dari golongan tri wangsa yakni berkasta ksatria dan waisya, namun mempersunting perempuan dari golongan Brahmana, maka perkawinannya disebut alangkahi karang hulu. Kedua, laki-laki dari golongan sudra wangsa dengan perempuan dari golongan brahmana disebut perkawinan asupundung. Solusi dari pernikahan seperti ini adalah kawin lari.