Mohon tunggu...
Risalah Amar
Risalah Amar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, pegiat pranikah

Penulis Lepas, dan Melepas Tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca Asyik di UNJ

21 Februari 2015   04:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bicara baca membaca di kampus kita, UNJ Rawamangun, saya kembali dibuat percaya kita adalah kampus yang sudah meninggalkan hal-hal teknis dan remeh. Kita beralih ke isu-isu besar kemanusiaan, bagaimana agar kita hidup lebih baik, atau berkontribusi di kota Jakarta, atau bahkan dunia. Ada hal yang mengganjal di pikiran saya. Saya belum pernah membaca dengan nyaman di dalam ruangan kampus, di manapun itu. saya akan coba uraikan sebabnya, tentu saja dengan sangat subjektif. Santai saja, bukan skripsi.

Citra kampus sebagai pabrik manusia hebat, pabrik guru, pencetak pemimpin masa depan, atau apapun itu yang konsepnya dibahas setiap tahun (tapi tak pernah terlaksana secara serius) musti didukung dengan fasilitas yang tak mesti mahal dengan tivi-tivian atau AC yang terlalu dingin. Saya coba membayangkan diri sebagai tamu yang ingin studi banding, melihat kultur membaca di UNJ.

Saya masuk ke gedung parkir. Setelah itu, saya masuk ke lobi terdekat, Fakultas Ilmu Pendidikan. Oh, di sana gelap, lampu yang ada kelihatan belum didesain dengan baik agar saya bisa membaca dengan nyaman, dan menunggu teman. Yang ada, saya melihat sepasang mahasiswa-mahasiswi sedang main gadget, dan menggerutu:” siakad lemot.. “ saya tengok kanan-kiri, tak ada rak buku atau rak koran terbaru hari itu. saya tak bisa duduk di kursi.

Saya melangkah keluar, menuju Rektorat. Semoga, di sana penerangannya nyaman dan saya berharap bisa menuntaskan satu buku tipis selama menunggu di sana. Oh, pintunya otomatis. Saya kembali celingak celinguk, penerangan yang sama gelapnya membuat mata saya kelelahan. Tak ada ruang baca atau ruang tunggu. Satpam mendekat, “Ngapain mas?” dengan mata setajam dosen penguji.

Saya keluar tanpa menjawab. Saya menuju Fakultas Bahasa dan Seni. Saya masuk ke Gd. F. Ada banyak lukisan indah di dinding. Sebuah lemari berisi dua komputer lama. Saya berharap bisa duduk nyaman sambil membaca. Akhirnya, saya mendapati lobi yang cahayanya cukup buat membaca. Saya membaca sebentar di sana, tetapi lorong yang sempit membuat saya tidak nyaman, akhirnya saya memutuskan pergi ke gedung perkuliahan di sebelahnya, A dan B. Di sana sama saja, lampunya gelap, dan tidak nyaman digunakan membaca, saya juga tidak mendapati satupun koran di ruang tunggu. Sesekali mahasiswa memperhatikan saya yang membawa buku, “Aneh luh!” batin mereka.

Saya ingin pergi lagi. Saya putuskan pergi ke Fakultas Ilmu Sosial, dengan melewati gedung perpustakaan. Saya tergoda masuk sebentar ke dalam perpustakaan, siapa tahu, ada pengalaman baca yang spesial di sana. Ah, saya masuk lobi, “Katanya kemaren aer naik ke sini?” kata seorang mahasiswi pada rekannya.

Lampu lobi perpustakaan gelap sekali. resepsionisnya juga tidak senang tersenyum. Saya mengharapkan sambutan bagi para pembaca yang tak biasa di sini. Misalnya, ada buku apa di sini? Harus ke lantai berapa saya? Oh, ada Book of The Week There! Atau, kesan lain yang membuat lobi perpustakaan seperti dibuat khusus bagi para ilmuan sekaligus si penasaran.

Saya langsung menuju Fakultas Ilmu Sosial. Di sana, saya dapati lobi dengan bangku menghadap taman mushala. Tetapi, penerangan masihlah belum cukup, dan bangku belum cukup nyaman untuk membaca. Sesekali mahasiswa berseliweran dan bicara agak keras.

Yah... ini Cuma pengalaman imajinatif. Tidak bisa dijadikan catatan kaki atau daftar pustaka. Suatu kali, saya pernah dengar kalau UNJ membayar listrik dengan sangat mahal. mungkin ini sebabnya, menjadikan lampu redup dan menghilangkan kenyamanan membaca. Tetapi, daripada mengorbankan pengalaman membaca yang istimewa di lobi kampus, lebih baik batasi derajat AC agar jangan terlalu dingin, itu menghemat beberapa ribu rupiah tiap bulan per unit.  Di sisi lain, pengeluaran juga bisa dihemat dengan meminimalisir penggunaan pintu geser di rektorat. Tapi mau nggak ya? Bisa juga dengan aturan, dilarang mengisiulang gadget di ruang kelas misalnya. Itu menyedot banyak daya, dan tentu Rektorat keluar uang banyak.

Perpustakaan kontemporer saat ini sudah tidak menggunakan ruang konvensional. Dia menggunakan lemari berbentuk asimetris, bersofa empuk, dan rata-rata berukuran tak lebih besar dari kamar saya. Karena didesain tematik, maka jumlah bukunya juga sedikit namun memiliki kekhususan tema pada satu sudut.

Bagaimana jika, ada sebuah lemari kecil berisi koleksi tematik di setiap lobi fakultas. Di Fakultas Bahasa dan Seni, rak berisi buku puisi. Di Fakultas Teknik, katalog arsitektur atau mesin-mesin keluaran terbaru. Di Fakultas Ilmu Sosial, macam-macam buku politik kontemporer dan karya dosen. Di MIPA, misalnya, ada jurnal-jurnal asing yang pasti sangat progresif.  Agar tidak takut hilang, memang perlu ada semacam pembiasaan. Habisnya, di stasiun atau bandara saja, tidak hilang. Misalnya, sejak MPA, oleh kakak BEM dibilang, “Buku ini sudah bertahun di sini tidak hilang, bacalah dan jagalah!” begitu. Itu sebuah citra. Itu menciptakan opini awal bahwa kampus ini didesain buat membuat sebanyak mungkin buku kita baca selama kuliah.

Saya berharap, kampus saya makin mempertimbangkan aspek pembacaan macam ini. sejak lama, saya ingin membuat sebanyak mungkin orang membaca dan menulis. Di sisi lain, mungkin ini menjawab alasan kenapa mahasiswa sulit menuntaskan satu buku tipis. Karena, fasilitas bacanya tidak mendukung.

Boleh ya saya nulis begini? Hehehe. Saya biasa membaca dengan khusyuk di taman Tugu UNJ. Kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun