Oleh Amar Ar-Risalah
Manusia Universitas Negeri Jakarta.
Pertama-tama, saya gembira mendengar berita bahwa kamis lalu, Pak Rektor menandatangani memorandum dengan Komnas HAM di Gedung Dewi Sartika, tentang pendirian pusat penelitian HAM, bahkan dikatakan akan membuat rapor bagi negara-negara Asia Tenggara. Bisa jadi dibayangkan Human Rights Watch, atau human-human lain yang standarnya barat dan yang penting diinggris-inggriskan bahasanya. Tetapi saya doakan, kali ini UNJ akan mampu membuat semacam laboratorium kemanusiaan yang betul-betul memanusiakan manusia.
Saya akan menyoroti beberapa hal yang terjadi di UNJ, mungkin harus diperhatikan sebelum membuat sesuatu yang bombastis. Catatan ini dibuat untuk memberi garis perhatian pada indikasi pelanggaran HAM yang terjadi. Maaf, saya tidak perlu alat ukur apapun untuk membuat catatan murah begini. Hati nurani saya sudah cukup untuk itu. UNJ mengajarkan saya banyak hal tentang itu.
Potensi gangguan terhadap HAM
Potensi yang dimaksud, adalah yang nampak di permukaan akibat ketidakjelian beberapa pihak. yang pertama, ada beberapa petugas parkir perempuan yang berjaga dari Niaga Parking, sampai malam. Tengah malam. Di mana sisi pelanggaran HAM-nya? Sepertinya tidak perlu saya beritahu. Ini terjadi sepanjang tahun 2014.
Kedua, gaji karyawan non dosen yang belum masuk akal. Jauh di bawah UMR. Beberapa pegawai pesuruh mengatakan, belasan tahun bekerja, gaji mereka sampai kini hanya Rp. 1.500.000 saja. apakah wajar? Kampus kita bayarannya terus naik. Parkirnya termahal di Indonesia.
Ketiga, fenomena pengusiran pedagang kecil yang terus terjadi berulang, misalnya 1 Mei tahun lalu. Cara birokrat mengusir yang tidak manusiawi menunjukkan, UNJ belum ramah buat warga sekitar. Yang jadi masalah, UNJ sendiri belum bisa menyediakan layanan administrasi bagi pedagang. Dan berdasar investigasi pers kampus, ternyata mereka diancam dan ditarik iuran dari kampus. Di sini, UNJ tampak mengambil jalan pintas—mungkin untuk ISO-ISO-an—tanpa mengambil solusi yang sama-sama menguntungkan.
Keempat. Parkiran UNJ adalah tempat paling tidak manusiawi di UNJ, bagi saya. Awal tahun 2014, lantai 1 jelas diperuntukkan bagi wanita, kini diserobot oleh laki-laki, bahkan oleh mahasiswa sendiri. Genangan air yang hitam juga mengganggu pemandangan. Di sisi lain, pekerja wanita banyak yang bekerja sampai tengah malam, bukankah ini berarti UNJ belum sepenuhnya menerapkan kondisi lingkungan ramah perempuan?
Kelima, soal-soal disabilitas yang dijadikan bahan jualan. Di setiap kampus, kini penanganan inklusif bagi disabilitas menjadi isu yang menguntungkan. Namun, ini tidak disertai kelengkapan fasilitas yang layak, misalnya, penyediaan marka jalan khusus tuna netra dan aksara braille, atau lajur-lajur trotoar yang ramah kursi roda. di satu sisi, jurusan saya, JBSI memiliki satu siswa disabilitas yang terpaksa shalat di ruang terbuka dilindungi rekan-rekannya karena akses ke tempat ibadah yang sulit bagi tuna netra.
Keenam. Pendidikan dan kualitas gizi peserta didik adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Sanitasi kantin Gedung M yang sangat sangat buruk membuat kita terpaksa makan berdampingan dengan kucing, tikus, lalat, dan kecoa. Empat hewan itu santer diketahui sebagai agen penyakit apabila tidak dilakukan penanganan serius, seperti vaksin atau penyewaan jasa animal rescue bagi anjing dan kucing. Populasi kucing bahkan kini sangat tinggi, sehingga kotorannya tersebar di mana-mana, dan berpotensi menyebar penyakit jika hujan terjadi dan air menggenang.
Ketujuh. Satuan pengamanan UNJ bagi saya, adalah satuan pengamanan di lingkungan pendidikan yang bertindak tidak manusiawi. Seringkali mereka menggunakan kalimat-kalimat seruan (saya anak bahasa. diajari oleh UNJ untuk menganalisis, mana kalimat perintah halus, mana kalimat-kalimat yang layak dan tak layak) dan terkesan arogan ketika meminta sesuatu pada mahasiswa.
Contoh yang paling membuat saya sakit hati, ketika di Jalan Daksinapati, mereka mengutamakan warga Daksinapati yang melintas dengan kecepatan tinggi dan mengusir mahasiswa dengan cara yang tidak sopan, padahal sebagaimana lingkungan pendidikan, semuanya adalah semacam prototype peradaban. Adab. Ada adab yang saya pelajari ketika bersentuhan dengan kata-kata. terus terang, pemasangan layar-layaran (proyek yang lumayan mahal) di IDB membuat akses ruang kelas menjadi terbatas, dan cenderung dipagari oleh suatu yang tak nampak. Maksud saya, kenapa satpam diarahkan lebih peduli pada keselamatan tivinya daripada kenyamanan hati mahasiswa ketika ingin menggunakan ruangan?
Kedelapan. Saya juga mau mengkritik opmawa. Mereka punya catatan potensi pelanggaran HAM serius pada tahun 2014. Ingat, kata kuncinya adalah potensi, bukan ancamannya itu sendiri. Kebijakan OPMAWA yang ditetapkan pada raker bersama Majelis Tinggi Mahasiswa setiap tahunnya, belum disengaja untuk mengadvokasi—sebagai contoh—perempuan dan disabilitas. Justru pada pelaksanaannya, membuat perempuan terpaksa berhadapan dengan ancaman, seperti pulang terlalu malam, atau bermalam di kampus tanpa perlindungan yang layak, misalnya ruang yang terpisah dan khusus.
Di tempat lain, evaluasi serius saya arahkan pada penyelenggaraan PEMIRA UNJ. Belum pernah ada materi atau acara kampanye, sosialisasi, atau TPS khusus disabilitas di UNJ. Saya tidak menutup kemungkinan ada upaya rintisan dari KPU, namun itu belumlah cukup. Kegiatan aksi masih diarahkan pada politik, belum menyentuh permasalahan inti HAM di UNJ sendiri. Di FIP UNJ, ada jurusan yang khusus pendidikan luar biasa, dan kebijakannya memang kearah situ, tapi belum disinergikan dengan baik oleh jaringan OPMAWA di atasnya.
Kesembilan. Ada pula soal-soal anak jalanan yang mengintai di mana-mana. Entah anak siapa, yang jelas, upaya tim Community Development di seluruh UNJ untuk mengakomodasi belum cukup. Belum ada upaya serius dari UNJ—rektorat—untuk menangani masalah anak jalanan.
Kesepuluh, jangan lupa di UNJ ada hak-hak asasi penyair yang dilupakan. Karya-karya mereka tidak dihargai secara layak. Mahasiswa masih diperlakukan sebagai mesin piala, belum diperlakukan sebagai manusia yang bersastra, manusia yang berbahasa.
Nah, kesepuluh catatan ringkas tanpa data dan penuh emosi ini saya tulis sebagai apresiasi saya terhadap penegakan HAM di UNJ. Saya hargai UNJ sebagai kampus yang ingin dan berniat mengadvokasi HAM, dan saya akan berikan kasus-kasus yang harus diselesaikan di depan mata, sebelum pura-pura bisa merapor se-asia tenggara.
Toh, soal transparansi dan keterbukaan informasi saja kadang masihh ditutupi. Saya bukan aktivis HAM. Saya juga tak ngerti masalah UKT-UKT-an. Makanya, saya nulis dengan model begini.
UNJ SATU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H