Salam Sepakbola Bangkit!!!
Sebagaimana dimuat di laman-laman media tanah air, bahwa dari 16 klub yang akan menjadi kontestan, menurut LPIS hanya 8 klub yang sudah benar-benar siap mengarungi kompetisi Indonesian Premier League 2013. Â 3 Klub mendapat catatan khusus, di mana kekurangan mereka bukan hanya dari sisi administrasi seperti kelengkapan kontrak pemain dan kemampuan keuangan berdasarkan hasil audit tim LPIS ke klub-klub calon kontestan (ada ga ya yang kayak gini di ISL?), yaitu Arema, Perseman dan Bontang FC. Â Jika Perseman dan Bontang FC diminta melunasi tunggakan gaji pemain mereka, maka Arema dipaksa untuk segera mendapatkan investor yang akan mendanai mereka selama kompetisi bergulir.
Dari sini bisa dilihat perbedaannya. Â Pertama, kalau PTLI berusaha menutupi kecarutmarutan kondisi klub-klub kontestannya, dan memaksa mereka pokoknya harus ikut, sedangkan LPIS justru membuka tentang kondisi keseluruhan pesertanya apakah siap atau tidak. Â Itu bisa dilihat pada Persid Jember, Persis PTLI, PSMS PTLI, Persidafon, Persiwa, Persiram dan masih ada beberapa klub lagi, yang sebelumnya menyatakan tidak mampu mengikuti kompetisi tapi terpaksa harus manggung agar PTLI tidak terkena penalti lebih besar lagi dari ANTV & TVOne akibat adanya pertandingan yang gagal disiarkan. Â PTLI tentunya kapok dengan penalti yang pernah mereka alami dari Djarum maupun Bank Mandiri di ISL musim 2008-2010 akibat banyaknya pertandingan ditunda atau dibatalkan (alias WO).
Kedua, saat pesertanya belum memiliki investor, LPIS memaksa pihak klub berusaha dan diberikan tenggat waktu, sedangkan PTLI malah menggiring pesertanya mengemis APBD dan mendatangi kepala-kepala daerah setempat meminta pendanaan.
Ketiga, LPIS sangat konsen dengan regulasi yang dicanangkan AFC dalam standar klub Profesional. Â Impactnya memang sangat terasa, klub-klub mulai goyang dan merasakan pahitnya menjadi perusahaan yang harus menghasilkan profit serta harus mampu mendatangkan investor untuk bisa terus bertahan hidup. Â Sedangkan PTLI menggunakan standar sesuai pesanan sang Bos, yang hasilnya 3 tahun (2008-2011) diberi kesempatan oleh AFC, PTLI justru menjerumuskan nilai koefisien Liga Indonesia dari angka 400-an menjadi angka 200-an, hanya separuh dari nilai yang diperoleh Liga Thailand.
Keempat, LPIS melakukan studi banding dan studi kasus dengan beberapa liga di mancanegara, sedangkan PTLI merasa sudah dianggap sebagai liga yang ramai dengan rating mengalahkan liga-liga Eropa, sehingga nilai jual klub tidak terlalu penting.
Hufh.... Andai saja LPIS sudah datang di tahun 2008, mungkin jatah Liga Champions Asia kita bisa saja bertambah, dan klub-klub kita sudah mulai bisa bersaing dengan klub-klub Jepang, Korsel, Australia, China, Qatar, UEA, Iran dan Arab Saudi. Â Tapi, bukankah terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali?.
Andaikan Djoko Driyono adalah orang yang benar-benar independen dan profesional mengendalikan liga sepakbola Indonesia, bukan seperti sekarang yang menjadi pegawai di PT Krakatau Steel yang mendonori Pelita Jaya, yang merupakan kaki tangan dari Bakrie.....
Andaikan PTLI bisa tegas dan teguh memegang amanah dan aturan seperti LPIS, mungkin sepakbola Indonesia akan lebih baik....
Salam Sepakbola Bangkit!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H