Senin pagi, aku terbangun dan mulai menjelajahi dunia maya. Tujuannya adalah membaca berita-berita mengenai dunia sepakbola. Eh, sudah semangat bangun, ternyata tidak ada lagi berita mengenai hasil pertandingan, atau informasi tentang cuplikan pertandingan. Di kolom sepakbola disetiap situs berita yang kubaca adalah tentang atlet-atlet  sepakbola yang berlatih di rumah mereka masing-masing.
Penyebaran virus Corona yang masiflah penyebabnya. Corona memaksa otoritas penyelenggara beberapa kompetisi besar seperti liga Italia, Inggris, Prancis, Spanyol, bahkan terakhir juga liga Indonesia untuk menghentikan kompetisi. Tentu, penghentian ini bukan tanpa resiko.
Resiko utama adalah kerugian secara materiil. Liga Inggris misalnya mereka akan kehilangan kurang lebih Rp 179 triliun, jika kompetisi musim ini berhenti di tengah jalan. Tentu kompetisi yang lain juga menghadapi kerugian seperti liga Inggris.
Apakah mereka rela merugi? Tentu saja tidak. Buktinya otoritas penyelenggara kompetisi masih mencoba menjalankan liga walaupun tanpa penonton. Namun, lambat laun mereka menyadari bahwa walaupun tanpa penonton, tetap ada korban yang akan timbul yaitu para pemain. Mereka juga manusia yang rentan tertular virus Corona. Jika kita berselancar di dunia maya, pasti akan menemukan pemain-pemain yang sudah dihinggapi virus ini.
Akhirnya, setelah para penyelenggara kompetisi berhitung, rasa kemanusiaan lebih penting daripada bisnis, sehingga mereka memilih untuk menunda kompetisi sepakbola. Sikap penyelenggara kompetisi ini mendapat dukungan dari semua elemen yang terlibat dalam kompetisi.
Jurgen Klopp, pelatih Liverpool misalnya. Ia menegaskan bahwa laga sepakbola tidak lebihh penting dibandingkan keselamatan dan kesehatan orang-orang. Di Italia, Ivan Gazidis, CEO AC Milan, juga menyatakan bahwa saat ini kesehatan dan keselamatan orang-orang adalah prioritas utama. Bahkan AC Milan mendonaasikan Rp 4 Milliar untuk menangani Corona di wilayah Lombardy, Italia.
Ya, mereka akhirnya rela merugi demi kemanusiaan. Supaya orang-orang yang mereka kasihi dan mengasihi mereka selamat, supaya fans sepakbola yang mendukung berjalannya kompetisi punya peluang untuk hidup lebih lama.
Pada akhirnya, aku merelakan senin pagiku tidak seperti biasanya.  Untuk sementara, tidak ada kemarahan karena tim kesayangan kalah atau sukacita karena kemenangannya. Juga tidak ada teriakan marah istri karena aku menunda  pekerjaan rumah karena sibuk berselancar membaca hasil pertandingan dan melihat cuplikan gol-gol. Aku bisa menerima situasi ini, sebab semua demi alasan kemanusiaan. Malahan aku bersyukur bahwa di dunia yang bising, kapitalis masih ada kepedulian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H