Adalah Silvester Wongan, Koordinator Yayasan Hati Teratai Papua (YHTP) yang menemukan penyebab lain terhambatnya pembangunan di wilayah Papua.
“Papua hancur karena kesombongan intelektual Papua. Para sarjana ini sombong dengan gelarnya dan pengetahuannya daripada sombong dengan karyanya,” katanya pada suatu kesempatan, sebagaimana dilansir sebuah media lokal (Tabloid Jubi) akhir bulan lalu.
Menurutnya, kaum intektual (asli Papua) masih sebatas mendiskusikan pengetahuannya daripada melaksanakan pengetahuannya. Perdebatan ditataran intelektual mengabaikan konsep masyarakat mengenai pembangunan diri dan negerinya. Semua yang baik dari masyarakat disingkirkan, sementara yang datang dari luar disodorkan.
Mereka membawa semua pengetahuan akademisnya ke tengah masyarakat, lalu memaksakan masyarakat mendengar dan melaksanakan semua pengetahuannya yang belum tentu baik (cocok) untuk perubahan masyarakat.
http://zonadamai.wordpress.com/2012/03/26/kesombongan-intelektual-menghambat-pembangunan-papua/
pemaksaan masyarakat
Apa yang dikritisi Silvester Wongan di atas, dengan mudah dapat ditemukan contohnya dalam keseharian Orang Papua. Ada banyak kelompok-kelompok kecil pendukung Papua merdeka yang kerjanya tiap hari hanya memaki-maki kerja Pemerintah. Buka perkebunan dinilai salah, bikin koperasi juga salah, membasmi tindak korupsi dilawan, menghukum pelaku makar dibilang melanggar hak demokrasi seseorang, sampai-sampai aparat yang hendak menindak pelaku demo anarkistispun dibilang sikap kolonial.
Bahkan mereka mengancam akan ‘menindak tegas’ Polda Papua jika Polda tetap ngotot memanggil pimpinan demo atau menangkapnya. Tindak tegas yang dimaksudkan adalah mengerahkan massa untuk melakukan perlawanan. Karena aksi unjuk rasa yang mereka lakukan tidak lagi terikat pada hukum republik. Maka tindakan Polda memanggil mereka adalah tidak berdasar.
http://www.bintangpapua.com/headline/21487-knpb-siap-melawan
Lebih parah lagi jika kita memasuki jemaat gereja yang dipimpin para pendeta bergelar master dan doktor lulusan luar negeri. Dalam kotbah-kotbah maupun omongan lepas mereka, tak pernah jauh dari penafsiran Alkitab tentang “kemerdekaan”. Di surat kabar lokal juga selalu hadir tulisan dan pernyataan mereka. Bahwa secara rohani Orang Papua sudah dimerdekakan, tetapi secara politis belum. Masih dijajah oleh Pemerintah Indonesia. Mimbar gereja mirip mimbar bebas. Ini contohnya : http://suarabaptis.blogspot.com/2012/04/pemerintah-indonesia-menduduki-menjajah.html
Sebagai umat kami jadi bingung. Kami harus ikut yang mana. Banyak jemaat dan rakyat jelata di sini yang pendidikannya masih rendah. Daya tangkap mereka tentu masih sempit. Karenanya mereka gampang dipengaruhi. Gampang ditipu oleh mereka yang sekolahnya tinggi. Upaya kami untuk membangun kampung halaman menjadi terganggu. Hampir setiap hari ada himbauan demo. Anak-anak sekolah SD sering diliburkan, pasar dan toko sering tutup karena takut ada demo rusuh. Semoga situasi semacam ini bisa cepat berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H