Mohon tunggu...
Nurfitrah T
Nurfitrah T Mohon Tunggu... lainnya -

The author of novel: WAJAH KEDUA (Feb, 2013), FALLEN (Oct, 2013)\r\n\r\nemail: lepas.penulis@yahoo.co.id\r\ntwitter: @Vivit_2703

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monolog untuk Hujan

6 Juli 2013   05:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:57 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Malam ini aku duduk di kursi rotan yang terdapat di ruang tamu. Di tangan sudah tergenggam secangkir teh panas untuk mengusir dingin yang menusuk tulang. Sesekali aku tatap atap rumahku yang terdiri dari susunan seng berkarat termakan usia. Berisik sekali. Titik-titik hujan yang menendang atap bertubi-tubi membuat pekak telingaku. Pasangan petir dan angin kencang juga terkadang menyapa sehingga membuatku terkejut bahkan bergidik takut. Aku hirup sedikit demi sedikit teh panas untuk menenangkan diriku. Suasana ini membuat ingatanku akan hujan menjadi tersusun rapi dan meminta untuk dibuka kembali.

Kau ingat? Saat pertama kali aku menyentuhmu. Waktu itu aku berusaha meyakinkan ibu agar aku bisa ikut bermain dengan kakak-kakakku dan bisa menikmati dinginnya diterpa oleh titik-titik airmu. Ibu mengizinkanku setelah aku merengek dan menangis tersedu-sedu. Hahaha, trik yang selalu digunakan bocah kecil agar hati ibunya luluh. Aku senang dan segera berlari keluar rumah sambil berteriak ‘yeaa..yeaa’. Bermain kejar-kejaran dengan kakak-kakakku dan sesekali aku jatuh terpeleset. Saat itu aku tidak menangis, aku malah gembira seperti layaknya anak kecil yang mendapat mainan baru kesukaannya. Apakah kau ingat peristiwa itu? Ah,mungkin kau tidak ingat, atau pada saat itu ibumulah yang menyentuh tubuhku dengan titik-titik airnya.

Beranjak remaja aku mulai tidak menyukaimu. Mengapa? Karena hampir setiap kali aku pulang sekolah kau selalu menyiram tasku yang kau tahu sendiri isinya buku-buku. Payungku rusak! Aku tidak bisa melindungi tubuhku dan tas ranselku. Jika sampai di rumah kost, aku tidak bisa langsung beristirahat melepas penat karena aku harus mengeluarkan seluruh isi ranselku dan menjajarkannya di dekat kompor dapur agar cepat kering. Kau mau menyuruhku membeli payung baru agar tidak bisa tersentuh olehmu? Maaf, uang sakuku tidak cukup. Jadi jangan datang dulu ketika aku berangkat dan pulang sekolah, atau berhentilah ketika aku menjejakkan kaki ke tanah!

Saat dewasa aku masih tidak menyukai kehadiranmu yang terlalu sering datang dan mengganggu aktivitasku. Aku memang sudah mampu membeli payung bahkan jas hujan. Lalu apa yang membuat aku tidak menyukaimu? Jalanan yang harus aku lalui untuk menuju ke tempat kerjaku. Aku bekerja bukan di kota, tetapi di pelosok desa. Tuntutan kerja yang melemparkan aku ke sana. Aku tidak bisa seperti para pekerja kantor yang mendapat jatah di kota. Ketika mereka sampai di tempat kerja, mereka berpakaian rapi dan lihat saja sepatu mereka, sepatu mengkilat karena sudah dijilat si semir sepatu. Aku tidak bisa seperti itu. Mengapa? Kau tahu sendiri jalan yang aku tempuh untuk sampai ke tempat kerjaku. Jika kau turun, apalagi saat kau turun dengan Semangat ’45, jalan yang aku lalui menjadi licin. Tidak ada hamparan aspal di situ, hanya ada jalan berlapis tanah liat sepanjang 10 km. Kau bayangkan saja sendiri bagaimana aku harus melewatinya. Sepeda motor yang aku kendarai menjadi seperti penari di atas jalan licin itu, melenggak-lenggok bak penari jaipong. Bahkan sesekali aku terjatuh karena tidak bisa menahan gerakannya. Lalu bagaimana aku bisa tampil rapi ketika sampai di tempat kerjaku jika keadaannya seperti itu? Jadi aku harap kau jangan terlalu sering datang. Cukuplah kau datang sesekali hanya untuk menyirami jalanan itu agar tidak berdebu.

Ketika aku sudah menikah, aku tetap tidak menyukaimu. Jika ada yang mengatakan pasangan itu sangat menyukai cuaca hujan, maka aku akan mengatakan itu pendapat bodoh. Aku mengatakan seperti itu karena inilah awalnya aku sangat membencimu. Oh, bukan. Aku sangat takut padamu. Saat itu cuaca sangat gelap karena mendung pekat sudah merata di sudut-sudut langit. Mungkin kau sedang bersiap-siap untuk aksi terhebatmu dengan tebaran air yang begitu dahsyat. Jika saat itu kau sedang bersiap-siap, maka aku saat itu sedang sendirian beristirahat di rumah dengan janin di perutku yang berusia 2 bulan. Tidak ada firasat apapun bahwa musibah itu akan terjadi. Selang beberapa saat mendung sudah tidak bisa menahanmu turun dari langit. Kau turun dengan derasnya. Hhmm, mungkin kurang lebih satu jam kau tetap bertahan dengan intensitas seperti itu. Aku tertidur lelap karena alunanmu menyentuh atap. Kemudian aku terbangun karena petir tiba-tiba berteriak. Aku terbangun dan tidak sengaja melihat lantai kamarku yang sudah rata dengan genangan air. Apa-apaan ini? Kau tiba-tiba jahat padaku. Aku panik dan seketika aku berlari ke sana kemari untuk menyelamatkan beberapa barang yang tergeletak di lantai. Saat itu aku tidak mengerti mengapa banjir datang padahal aku selalu membersihkan selokan? Asyik dengan olahraga yang kau berikan aku menjadi lupa bahwa ada kehidupan yang harus aku jaga daripada mengikuti permainanmu. Ketika aku tersadar, semua sudah terlambat. Darah mulai mengalir dan aku mulai merasakan sakit pada rahimku. Aku kehilangan janinku. Aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu tetapi kamu adalah salah satu faktor penyebab aku kehilangan calon buah hatiku. Mulai saat itulah aku trauma akan kedatanganmu. Jika kau datang pada malam hari aku selalu terjaga. Saat kau pergi saat itulah aku lega.

Wah, teh dalam cangkirku mulai dingin gara-gara aku melamun tentang dirimu. Aku dengarkan sekali lagi suara tetesanmu di atap berkarat rumahku ini. Rupanya kau sudah lelah sehingga suaramu melemah. Baiklah, aku bisa tidur sekarang karena kau akan beranjak pergi. Ya, aku tidak akan bisa tidur jika kau masih bernyanyi di atas atapku. Trauma akan kedatanganmu itu masih ada, entah sampai kapan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun