Mohon tunggu...
Nurfitrah T
Nurfitrah T Mohon Tunggu... lainnya -

The author of novel: WAJAH KEDUA (Feb, 2013), FALLEN (Oct, 2013)\r\n\r\nemail: lepas.penulis@yahoo.co.id\r\ntwitter: @Vivit_2703

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laralova (5)

18 Juli 2013   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hitler atau Mark Zuckerberg?

Aku berlari-lari di pinggir sungai yang cukup besar. Armand mengejarku sambil membawa diapers di tangannya. Aku nggak mau dilemparin diapers yang sudah dipakai! Apa-apaan? Jadi aku memutuskan untuk melarikan diri. Nggak disangka Armand malah mengejarku. Langkah kakinya lebih lebar dari langkahku. Aku berhenti dan berpaling sebentar. Armand semakin dekat…. Dekat…. Tangannya yang menggenggam diapers bekas mulai terangkat dan membidik wajahku. Swiiing…. Buggh!

Wake up, Pemalas!”

Mataku langsung terbuka. Kok gelap? Oh, ada bantal di wajahku. Buru-buru kuangkat bantal itu lalu bersyukur karena adengan diapers mendarat di wajahku itu cuma mimpi. Aku kucek-kucek mata, mau melihat siapa yang jadi malaikat penyelamat mimpi burukku barusan. Semakin jelas tampaklah cowok berjas lagi berkacak pinggang melotot padaku. Ooh, lagi-lagi Armand, nggak jadi kusebut malaikat penyelamat.

“Kamu ujian hari ini!” teriak Armand.

I know! Nggak usah teriak-teriak begitu dong!” sahutku sengit.

“Kamu nggak menyalakan alarm!”

Aku melirik jam di meja dekat tempat tidurku. Yang itu memang aku lupa menyalakan tadi malam.

“Aku harus mengantar kamu baru bisa berangkat kerja. Ini sudah jam enam lebih!” Armand masih menggunakan nada tertingginya.

Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. “Kalau gitu tinggalkan aku aja. Aku bisa kok naik taksi!”

“Kamu bisa terlambat kalau naik taksi!”

“Apa pedulimu?!”

Sebel banget diteriakin begitu pagi-pagi. Bisa nggak sih Armand ini bersikap manis padaku. Kelihatan anak tiri kalau diperlakukan seperti ini.

“Lagipula, begitukah kebiasaanmu?!” Armand menyeringai sinis.

“Aku tadi malam belajar sampe lupa waktu!”

Sambil mengucapkan itu, aku berlalu dari hadapannya, sengaja nubruk lengannya pakai bahuku. Jengkel. Kalau nggak tahu alasannya kenapa aku bisa kesiangan, nggak perlu teriak mengintimidasi begitu. Huh!

Kubanting pintu kamar mandi dan nggak tahu lagi apakah Armand bakal nungguin aku atau meninggalkanku naik taksi. Cowok yang jahat banget. Yakin, dia itu nggak punya pacar. Diktator banget sih. Ya cocok saja kalau dulu aku panggil dia Hitler. Nggak cocok kalau mirip Mark Zuckerberg.

Capcipcus, aku mandi cuma lima menit. Asal kena air, asal kena wangi sabun mandi, dan asal gosok gigi. Selesai mandi dan dandan, aku buru-buru siapin semua perlengkapanku buat ujian. Setelah dirasa nggak ada yang ketinggalan, aku segera turun. Aku sempat-sempatkan ngelirik jam. Ouch, 06.30!

Sampai di bawah sudah sepi. Om Adolf dan tante Valeria pasti sudah berangkat. Tinggal Armand aja nih, beneran ninggalin aku atau nungguin aku? Clingak-clinguk di ruang makan nggak ada kelihatan batang hidungnya. Huh, beneran ninggalin! Tega! Mana nggak sempat sarapan. Biarin deh, daripada telat ujian. Melihat ada segelas susu cokelat di meja makan, aku minum aja, lumayan buat ngganjal perut.

Setengah berlari aku keluar rumah. buru-buru menutup pintu dan waktu berbalik malah kagetnya setengah hidup. Armand lagi berdiri sandaran di pilar teras sebelah kanan. Wajahnya tetap kaku seperti waktu teriak-teriak di kamarku tadi.

“Lama sekali!” bentak Armand.

Jleb! Kaget dan nusuk banget!

Kalau kamu nungguin aku cuma mau bentak-bentak kayak gitu mending ditinggalin aja! Aku nggak suka dibentak-bentak! Papah dan Mamah dulu nggak pernah gitu ke aku!

Pengen marah-marah begitu di hadapan Armand tapi yang ada mulutku terkunci rapat. Yang ada malah tanganku dingin, gemetaran, wajah dan mata terasa panas. Aku mau nangis. Tapi sebisanya kutahan. Aku maju mendekati Armand.

“Aku tadi udah bilang, tinggalkan aku aja. Aku naik taksi. Lagipula…. Lagipula kenapa kamu jahat banget sama aku? Selalu marah-marah ke aku. Kalau…. Kalau aku di sini emang cuma jadi pengganggu kehidupan keluargamu, aku bisa kok keluar dari rumah ini.”

Airmataku jatuh! Nggak bisa kutahan lagi. Segera kupalingkan wajah dari Armand biar dia nggak lihat aku nangis. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menjauhinya.

“Lara….!”

Bodo! Mau dipanggil beratus kali, aku nggak bakal menoleh. Lama-lama aku berlari sambil menangis. Pokoknya jauh-jauh dari Armand. Sesekali melihat situasi, barangkali ada taksi lewat cari mangsa. Tapi kayaknya ini benar-benar hari sialku. Bangun kesiangan, dibentak-bentak tiruan Hitler, dan sekarang nggak ada taksi!

Ckiiitt….

Sebuah motor red-CBR hampir nyerempet aku yang jalannya emang nggak di trotoar pejalan kaki. Jantungku hampir copot. Kuamati benar-benar siapa pengendaranya. Mau kusemprot habis-habisan.

“Naik!” teriak pengendara itu.

Suaranya kukenal. Kuamati bentuk kendaraannya juga rasa ingat-ingat di mana gitu ya pernah lihat ini motor. Waktu berpikir kayak begitu, si pengendara membuka kaca helmnya.

“Hei! Ayo!”

Oh well, pantas aja pernah lihat. Ini kan motor yang nangkring di garasi rumah dan jarang banget dipakai Armand. Dan tentu aja, pengendaranya Armand. Uh, gengsi ah. Aku putar bola mataku yang masih sembab sambil jalan menjauhinya.

“Lara!”

Tiba-tiba tanganku ditarik dari belakang dan bikin aku refleks menghadap si penarik, Armand. Dia memasang wajah tegang di hadapanku.

“Naik, atau kamu bisa terlambat ujian,” katanya setengah mengancam.

Aku diam saja. Nggak mau ngomong. Aku mau aksi tutup mulut sama ini cowok. Karena aku nggak jawab apa-apa, Armand tetap menarikku menuju motornya dan menyuruh aku naik. Aku nurut aja, daripada terlambat. Beberapa detik kemudian, aku sudah ada di atas motor bersama Armand melaju menuju sekolahku.

Tiba di depan gerbang sekolah, bel masuk berbunyi. Duh pas banget. Untung nggak telat. Aku segera turun dari motor Armand dan nggak berucap apapun sama dia.

“Lara,” panggil Armand dari atas motornya.

Aku memandangnya tanpa ngomong apapun. Kulihat dia merogoh sakunya. Mau ngasih aku duit jajan karena aku nggak sempat sarapan? Eh, tapi bukan duit tuh waktu tangannya sudah keluar dari saku. Hape!

“Ini,ambil. Untuk kamu,” Armand menyodorkan hape itu.

Aku membuang muka. Emangnya sakit hatiku ini bisa dituker sama sebuah hape milik Armand. Iya sih hape IPhone 4S yang bikin ngiler, tapi gengsi dong!

“Ambil, di situ sudah ada nomor kantorku. Kalau minta jemput, telepon saja,” ujarnya lagi.

Dengan pura-pura males ngambil, pelan-pelan tapi pasti, kuambil aja deh itu hape. Lumayan, bisa buat gaya-gayaan nanti sama Nayla. Hahaha, nasib nggak pernah punya hape sendiri. Taunya minjem dan minjem serta ganti rugi pulsa orang yang dipinjam hapenya.

Setelah menerima hape Armand, nggak berbasa-basi, aku melengos pergi darinya. Aku berlari-lari kecil menuju ruang kelas yang bakal aku masuki buat ujian. Oh iya, aku nggak satu ruangan dengan Nayla. Jadi, kuurungkan niatku buat menemui dia dulu. Beberapa siswa sudah masuk ke ruangan. Aku pun juga masuk. Berjuang!

****

Bersyukur banget hari pertama itu ujian bahasa Indonesia. Ya, ada sih beberapa yang bikin sakit kepala tapi banyak juga yang aku yakin bener jawabannya.

Waktu bel selesai bunyi, aku buru-buru keluar ruangan. Target utamanya itu Nayla. Aku mau curhat. Aku juga mau minta tolong. Moga aja Nayla mau bantu. Tengok sana-sini, panjangin leher dan haapp... Target terlihat lagi duduk di kursi depan ruangan. Lagi sibuk sama Blackberrynya.

“Naylaaa...!”

Hampir aja hape kesayangannya jatuh gegara teriakanku. Aku menghambur peluk-peluk Nayla. Nayla megap-megap nggak bisa napas, malah gebukin bahuku biar cepet melepaskan pelukan.

“Stres lo ye! Gue masih pengen ujian besok. Jangan dibunuh,” omel Nayla setelah lepasin pelukan.

Aku duduk di sebelahnya. “Iya, maaf. Abis tadi pagi belum ketemu lo. Gue emang lagi stres nih.”

“Hahaha, masa ujian bahasa Indonesia bikin lo stres?” Nayla senyum seringai.

“Bukan itu. Gue lagi stres sejak dari rumah. Bete pake banget!” Aku kepalkan tanganku.

“Rumah? Pasti Armand,” tebak Nayla.

Aku mengangguk. Nayla terkekeh.

“Lo juga aneh sih. Udah tau disiksa batin kalau di rumah itu, masih juga bertahan. Demi apa coba,” omel Nayla sambil cemberut.

“Makanya, sekarang gue minta bantuan lo.”

Nayla memandangku lalu melengos ke arah lain. “Ogah ah.”

“Lo kok gitu mulu sih sama gue. Gue kan sobat lo,” Aku mulai monyong.

“Elo kalau minta bantuan pasti bikin gue rugi, sial, pokoknya yang nggak enak,” cerocos Nayla.

Aku terdiam sebentar. “Tapi kali ini beneran nggak bikin rugi deh.”

Nayla nggak nanggepin omonganku. Malah balik sibuk sama Blackberrynya.

“Nay.... Gue boleh ya nginep di rumah lo,” rayuku.

Nayla mendongak. “Hah? Nginep? Ogah. Lo kan tau bonyok gue tukang curiga kalau ada orang asing ikut nginep. Apalagi muka bule kayak lo.  Jadi, sorry, nggak bisa. Lagian napa sih pake acara minggat gitu?”

Aku sandarkan punggungku. Mengingat-ingat kejadian tadi pagi.

“Armand kasar banget sama gue tadi pagi. Ngebentak-bentak gitu. Ya gue bilang aja kalau dia nggak suka aku ada di situ, aku minggat.’

“Hahh?? Segitunya? Jadi tadi lo nggak dianter Armand?” Nayla kaget sambil melotot.

“Dianter sih, cuma aku nggak ngomong apa-apa.”

Nayla manggut-manggut. “Sayang gue nggak pernah ketemu si Armand itu. Tiap gue datang, lo selalu udah nongkrong di kelas. Padahal gue mau tau sekejam apa sih dia kalau dilihat dari wajahnya.”

Symphonie....

Und jetzt wird es still um uns

Denn wir steh´n hier im Regen

haben uns nicht´s mehr zu geben

Und es ist besser wenn du gehst

Terdengar alunan lagu sayup-sayup dan bikin aku clingukan. Melirik hape Nayla, nggak ada tanda-tanda panggilan masuk. Nayla malah ikutan cari-cari sumber suara.

Tiba-tiba aku jadi ingat hape Armand yang kumasukkan ke tasku. Buru-buru kubuka tas, merogoh dan mengacak-acak dalamnya. Tanganku berhenti di satu benda berbentuk kotak. Kukeluarkan dan muncullah hape Armand. Nayla bengong ngeliatnya.

“Eciee.... Barang baru,” goda Nayla.

“Bukan! Punya Armand.”

“Lho, lo diem-diem nyolong hapenya Armand?”

Aku langsung menggeleng. "Bukan gitu. Ini pagi tadi dia ngasih hapenya dia, alasannya biar gue gampang kalau mau pulang."

“Nah lho, itu berarti dia masih peduli sama lo,” tukas Nayla.

Aku nggak memedulikan ucapan Nayla. Fokus pada hape dan setelah kubuka emang lagu itu asalnya dari hape Armand. Kulihat siapa yang manggil.

‘MY OFFICE’

---------------------------------------------------------------------

Selengkapnya silakan kunjungi www.laralova.wordpress.com .Thanks :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun