Mohon tunggu...
Silvi Novitasari
Silvi Novitasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Penyuka kamu, buku, senja, dan keindahan. Sempat jadi orang yang ansos, tapi akhirnya jadi orang sosial lewat tulisan. Bahkan menjadi sarjana sosial :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Part 1] Childfree vs Antinatalisme "Ketika Seseorang Enggan Memiliki Anak"

23 Agustus 2021   11:06 Diperbarui: 23 Agustus 2021   11:18 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sam bercerita, keadaan bumi yang dirasa sudah overpopulasi, membuat dirinya enggan untuk memiliki anak. Belum lagi kondisi bumi yang sekarang tidak sedang baik-baik saja, membuatnya semakin bertekad untuk tidak memiliki anak. 

Sam merasa, hidupnya saat ini tidak adil. Dia merasa banyak penderitaan yang dialami selama hidup sampai dirinya tumbuh dewasa seperti sekarang. 

Kewajiban yang banyak, penilaian orang lain, perilaku orang lain yang seenaknya, hingga hal-hal menyakitkan yang membuat Sam menilai bahwa membawa anak ke dunia itu adalah hal buruk. 

Bagi Sam, membawa seorang manusia baru ke dunia ini adalah hal kejam. Dia tidak mau anaknya mendapatkan penderitaan yang sama jika dilahirkan ke dunia. Bahkan, dia sendiri bercerita, bahwa dirinya memilih untuk menjadi penyuka sesama jenis agar tidak bisa melahirkan anak. 

Tak hanya Jie dan Sam. Informan lainnya sudah di ujung pemilihan dan pembulatan keputusan untuk menjadi seorang yang antinatalis. Dia adalah Rhu. Saat kami mengobrol, dia banyak bercerita. 

Katanya, "Aku belum menentukan apakah aku menjadi seorang yang antinatalis atau tidak. Tapi, aku tidak menolak paham antinatalis. Bahkan, aku setuju dengan paham itu karena membawa anak pada penderitaan adalah hal kejam dan buruk."

"Selama ini, aku merasa menderita. Apalagi aku sakit, aku punya penyakit yang kebanyakan sulit diterima. Aku punya kelainan mental. Dan aku takut, jika nanti anakku memiliki kelainan yang sama."

Rhu menambahkan, "aku belum bisa menentukan pilihan karena lingkungan keluarga sangat menentang istilah childfree. Keluarga ku lebih mengutamakan banyak anak adalah banyak rezeki, banyak anak adalah berkah. Tapi aku tak bisa ikut mereka, karena di dalam hatiku terdalam, aku tidak mau punya anak. Bahkan jika bisa, aku pun tidak mau menikah."

Mungkin, di luar sana banyak penganut antinatalis atau childfree yang masing-masingnya punya alasan tertentu. Tidak bisa disamaratakan.

Aku banyak belajar dan banyak menemukan hal baru ketika mewawancarai dan mengobrol dengan Jie, Sam, Rhu (ketiga nama adalah nama samaran). Sekaligus, aku kaget. 

Aku tergolong seseorang yang awam dengan istilah childfree atau antinatalisme. Namun, ada forum yang membuat aku tergiat untuk melakukan mini riset. Aku mulai tahu paham ini, awal tahun 2021. Ketika tidak sengaja menemukan forum di social media yang isinya mengkampanyekan childfree. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun