Hambar, kurang asin, tidak ada rasa. Begitulah pendapat mayoritas pasien mengenai makanan yang disajikan di rumah sakit. Stereotip makanan rumah sakit yang tidak enak ini telah menjadi hal yang umum di tengah masyarakat kita. Kira-kira mengapa demikian, ya? Padahal, makanan yang akan disajikan kepada pasien telah diatur oleh dokter dan ahli gizi sesuai dengan keluhan dan penyakit yang dialami pasien. Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak tulisan ini sampai akhir, ya!
Jadi, ada beberapa faktor mengapa makanan rumah sakit digadang-gadang "tidak enak" rasanya. Yang pertama adalah karena terdapat perubahan metabolisme tubuh pada pasien yang sakit. Perubahan metabolisme ini berpengaruh terhadap cita rasa makanan, Sob. Dilansir dari Kompas.com dari Nature, Sabtu (29/4/2015) para peneliti mengungkapkan bahwa perubahan sensorik yang terjadi ketika sakit dapat disebabkan oleh protein yang memicu peradangan, yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha).Â
Seseorang yang mengalami  peradangan, infeksi, maupun penyakit autoimun akan memiliki protein TNF-alpha lebih tinggi dari orang yang sehat, lho. Selain itu, protein tersebut juga telah terbukti mengurangi nafsu makan. Nggak heran jika pasien cenderung tidak menyukai rasa dari makanan yang akan disantapnya.
Lalu yang kedua adalah tentang selera rasa. Perlu diketahui bahwa rasa itu bersifat subjektif. Lidah kita akan beradaptasi dengan apa yang biasa kita makan dan apa yang "terasa enak" bagi kita. Sehingga "kesenangan makan" tergantung dari lidah kita. Sebagai contoh, apabila kita setiap hari telah terbiasa memakan makanan yang "hambar", maka makanan tersebut terasa normal dan enak bagi lidah kita. Nah, lain cerita apabila lidah kita terbiasa memakan makanan yang berbumbu kuat. Hal ini menyebabkan makanan dengan olahan bumbu yang "kurang" menjadi tidak enak bagi kita, nih, Sob!
Setiap bumbu memiliki fungsi tertentu, seperti menghilangkan bau amis, memberikan rasa langu, dan lain sebagainya. Ada juga bumbu khusus yang dapat memberikan penguat rasa pada makanan. Bumbu tersebut diantaranya adalah gula, garam, dan MSG atau monosodium glutamat. Nah, hal tersebut berpengaruh terhadap selera lidah kita dalam mengonsumsi makanan, Sob. Namun, apabila bumbu-bumbu khusus tersebut dikonsumsi dalam jumlah banyak, maka akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan.Â
Apalagi rumah sakit adalah tempat di mana pasien ingin sembuh, tentunya harus mengutamakan kesehatan, kan? Termasuk dalam hal menyiapkan asupan nutrisi, Sob. Sehingga, makanan yang disajikan cenderung menggunakan bumbu standar tanpa adanya penguat rasa.
Tapi, apakah semua makanan yang disajikan ke pasien tidak boleh menggunakan penguat rasa? Dan apakah semua pasien mendapatkan menu yang sama "hambar"-nya?
Jawabannya tidak, Sob. Kembali lagi, menu makanan yang akan diberikan ke pasien telah disesuaikan dengan data riwayat kesehatan pasien yang bersangkutan. Setiap pasien yang dirawat tentunya memiliki keluhan dan penyakit yang berbeda-beda. Dokter dan ahli gizi akan memberikan diet yang sesuai dengan kondisi pasien, Sob.
Contohnya, pasien yang mempunyai riwayat hipertensi akan mendapati makanannya terasa hambar. Karena, pasien dengan tensi darah yang tinggi tidak diperkenankan untuk mengonsumsi garam dalam jumlah banyak. Begitu pula dengan kasus pasien yang mempunyai penyakit gula. Gula yang diberikan akan diganti dengan gula diabetes dan penggunaannya pun harus sangat diperhatikan, Sob. Sedangkan untuk pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit yang ekstrem, maka akan diberikan makanan dengan rasa yang normal. Tapi, tetap tidak menggunakan penyedap, ya.
Pada dasarnya, makanan yang disajikan di rumah sakit telah disesuaikan dengan kondisi pasien-pasiennya. Apabila makanan dirasa "kurang enak", maka hal tersebut juga dipengaruhi oleh metabolisme tubuh kita saat sakit, selera rasa, dan jenis penyakit yang sedang kita alami. Kesehatan pasien akan terganggu jika makanan yang disajikan mengandung bumbu penguat rasa dalam jumlah besar, Sob. Apabila dibiarkan, maka akan menjadi gerbang munculnya penyakit lain seperti penyakit jantung, paru-paru, hingga stroke.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H