Kak, panggilku ke salah satu para kakak kakak di asramaku. Memang tak ada yang seumuranku. Aku masuk asrama Julaibib --nama tahfidz yang diberikan langsung oleh donatur- tepat diusia minimal,yaitu 17 tahun. "Iya, ada apa?" sautnya. Kala itu kami sedang isirahat dan berbincang santai.  "Kak ceritain tentang pengalaman kakak di Ar rayyah" jawabku. "Oh, oke siap" jawabnya lagi. Dia salah satu alumni diploma Ar rayyah -dulunya pendidikan disana belum sampai sarjana-. Kak Nashihah panggilannya. Dia salah satu santri baru. Dan aku sekamar dengannya, jadi dia lumayan  sering cerita tentang  kampusnya itu.
Aku kagum dan tertarik dari kampus berbasis asrama itu, namun tak pernah terpikirkan untuk bisa kuliah disana. Karena itu jauh. Terletak di pulau jawa, tepatnya di Sukabumi. Dan aku tak pernah jauh dari orangtua. Bahkan saat di tahfidz ini aku sering sekali dijenguk. Nilih bisa terbang dari pulau kelahiranku ini dan jauh dari keluargaku.
Pagi hari, saat kami berkumpul di ruang setoran terdengar salam. "Assalamualaikum" kata seseorang yang baru saja masuk sambil melepaskan helmnya. "wa'alaikumussalam" jawab kami serentak. Dan dia pun langsung duduk diantara kami, lalu kami lanjutkan menghafal al qur'an. Dia Kak Maryam santri non-muqim dan dia juga pernah kuliah di Ar rayyah. Beberapa kali dia juga bercerita tentang Ar rayyah.
Banyak yang bertanya kepada ku, apakah aku sudah lulus SMA atau kenapa bisa masuk di umur semuda ini untuk tahfidz tingkatan lulusan SMA. Berulang ulang kali lisanku menjawab soal soal itu. "Aku belum tamat, kak. Namaku saja terdaftarkan disekolah yang berada di Tanjung Morawa" Waktu berlalu panjang  dan tak terasa aku dipuncak terakhir hafalan Alhamdulillah.
Aku berminat di pendidikan Bahasa Arab. Pikiran tertuju untuk mendaftarkan diri di kampus dekat dari sekolahku. STAI As-sunnah namanya, kampus yang berbasis asrama. Seringnya aku mendengar cerita STIBA Ar rayyah, aku mencari kampus berbasis asrama, agar digunakan bahasanya dalam percakapan sehari hari bak layaknya STIBA Ar rayyah yang aku dambakan. Segala berkas berkas aku siapkan, dan tiba waktu ujian penyeleksian.Â
Setibanya aku disana ditemani Ayah sampai ke gerbang pembatas putri, lalu aku pun melangkah sendiri ke gedung krem yang kuliat dari jauh. "Wah para akhwat sangat banyak", hati kecilku berbicara. Setelah menunggu beberapa saat dan berkenalan beberapa pendaftar. Ikhibar tahriri atau ujian tulis pun dimulai. Bismillah testing dimulai. Setelah selesai aku menghapiri Ayah yang berada di luar area akhwat. "Gimana, bisakan tadi?" Ayah menanyakanku. Aku tersenyum. "Tinggal menunggu sambil doa yang terbaik."
Galau, sedih, bingung saat pengumuman itu keluar. "Mau daftar kemana lagi? ya Allah" lagi lagi hatiku berbicara. Aku cemas sambil memikirkan kampus yang memiliki kateria yang aku minati. "Di LIPIA aja", seorang memberikan ide. LIPIA Medan baru saja dibuka, namun belum ada asrama untuk putri.Â
Terus mencari informasi seadanya, sambil melanjutkan hafalanku. Lalu ku ceritakan pada kakak kakakku, aku menganggap mereka semua kakak kandungku. "Mesir, aku enggak mau pasti Bahasa ammiyah, tidak fushah"jawabku sok tau saat ditawarkan kesana. Hari berganti hari masih dengan kegalauanku. Tiba tiba Pamanku memberi kabar bahwa ada pendaftaran di Princess Nourah bint Abdulrahman University. Universitas di Arab Saudi. Karena mendengar bahwa aku ingin bisa berhasa arab, Pamanku bersemangat memberikan berbagai informasi. Orangtuaku juga berharap aku bisa kuliah di luar negeri. Ku buka web syarat syarat pendaftaran, kalimat demi kalimat ku lihat dengan jeli.Â
Namun saat mataku tertuju oleh tulisan bertulis merah dan tebal. Mahram. Lemas dan pupus harapanku. Aku anak kedua dari 5 bersaudara, dan semua perempuan kecuali adekku terakhir. "Mana bisa, diapun belum baligh. Ayah? Mana mungkin". Seolah aku berdialog dengan diriku sendiri, sambil membayangkan sudah berada di kampus yang masyaallah megah itu. "Tadi Umi suruh Om pergi kesana untuk jadi mahrom Vivi." Umi mulai bercerita, dan mengagetkanku. "terus, gimana?". "ngak mungkin katanya, karena udah punya istri dan 3 anaknya." Pamanku ini adek Ayah. Jadi mahromku ya... "Nikah aja terus kuliah kesana" sebut ayah dengan cepat. Sepontan makin terkejut, dan terdiam. Saking inginnya aku kuliah kesana. Tapi, Kakakku belum menikah. Tak mau mendahuluinya.
Kembali ke asramaku lagi. Setelah izin pulang sehari. Seperti kemasukan angin kencang menambah kekuatanku. Tekatku memberanikan diri untuk mendaftarkan ke kampus dambaan itu, STIBA Ar rayyah. Ku beri tahu keluarga ku, Ayah dan Umi. Selagi di jenguk kala itu. Dan mereka pun mencari informasi syarat pendaftaran dan lainnya. Sempat tidak diizinin karena jarak yang jauh dan kurangnya pengetahuan mereka terhadap Ar rayyah. Tekatku bulat. Percaya bahwa itu kampus the best hanya mengandalkan cerita cerita tentangnya saja. Segala persyaratan satu satu terpenuhi.Â
Ayah menyiapkan segala berkas menyangkut pendidikan. Aku izin untuk ke rumah sakit untuk rontgen dan tes lainya yang ditemani Kakak tercinta. Tiba saaatnya testing, aku harus pergi dalam sekitar 7 jam lama perjalanan. Lagi lagi aku pun harus izin. Sabtu dan ahad memang libur, tapi aku harus izin karena telah keluar dari asrama. Sabtu pulang ke rumah, lalu malam hari aku dan umi berangkat dengan bus besar. Lhokseumawe tujuan kami, tempat testing yang terdekat kala itu.