Pada abad ke-21, dunia dihadapkan pada tantangan keamanan baru dengan munculnya program nuklir Korea Utara sebagai salah satu isu kontroversi yang menjadi sorotan publik. Sejak keputusan penarikan diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Treaty Non-Proliferation of Nuclear-NPT) pada Januari 2003 lalu, negara-negara dengan kekuatan regional utama di Asia Timur, yakni Amerika Serikat, Rusia, China, Korea Selatan, dan Jepang terus bergulat dengan dilema keamanan yang semakin bersitegang, pasalnya Korea Utara akan menjadi lebih tidak terkontrol dan tidak terpantau dalam penggunaan kepemilikan nuklirnya.
Korea Selatan, China, dan Jepang menjadi negara tetangga yang paling berdampak langsung akibat dari menaiknya isu kontroversial ini. Sedangkan Amerika Serikat dan Rusia juga turut serta dalam kategori negara yang mengalami ancaman dilema keamanan dikarenakan keduanya menjadi negara yang memiliki kepentingan strategi di kawasan Asia Timur.
Kita perlu melihat kilas balik ke masa Perang Dunia II, bagaimana senjata nuklir pertama kali digunakan oleh Amerika Serikat yang ditujukan menyerang Jepang, tepatnya dijatuhkan bom atom di Kota Nagasaki dan Hiroshima. Peristiwa ini menunjukkan bahwa betapa besarnya efek kehancuran yang belum pernah dialami sebelumnya akibat dari ledakan nuklir itu sendiri sehingga mengubah cara pandang negara dalam melihat keamanan dunia. Pasca Perang Dingin, senjata nuklir semakin dianggap sebagai ancaman global yang mengganggu entitas perdamaian dunia bukan hanya sebagai ancaman kawasan. Namun, beberapa negara, termasuk Korea Utara memandang kepemilikan nuklir merupakan jaminan keamanan untuk bertahan hidup dalam menghadapi ketidakpastian ancaman eksternal di dunia yang anarki.
Konsep Dilema Keamanan yang diperkenalkan oleh John Herz pada tahun 1950 menjadi landasan analisis yang relevan dalam memahami dinamika ketegangan yang sedang terjadi. Konsep teori tersebut menjelaskan bahwa bagaimana upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya dapat memberi kesan sebagai ancaman oleh negara lain, memicu timbulnya ketidakpercayaan satu sama lain, dan meningkatnya negara dalam persenjataan militer.
Dalam sejarah, kawasan Asia Timur tidak pernah lepas dari pengaruh dilema keamanan akibat ketidakseimbangan distribusi kekuatan yang terjadi di kawasan tersebut. Masing-masing kekuatan regional utama di kawasan tersebut, saling meningkatkan kemampuan baik dari segi militer, ekonomi, budaya dan lainnya.
Bukti nyata dilema keamanan dialami oleh negara dengan kekuatan regional utama kawasan Asia Timur ditunjukkan secara terang-terangan seperti Korea Selatan sebagai negara tetangga yang rentan terdampak isu tersebut melakukan sejumlah upaya mengatasi dilema keamanan yang dihadapinya dengan meningkatkan kapabilitas militer melalui latihan gabungan militer Foal Eagle dan Ulchi Freedom Guardian antara Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak 2018 yang aktif hingga sekarang.
Di sisi lain, Jepang mulai menginvestasikan pendanaannya kepada sumber daya pertahanan melalui kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Jepang juga mengembangkan sistem pertahanan Rudal Balestik Aegis untuk melindungi negaranya dari ancaman nuklir bentuk rudal milik Korea Utara.
China sebagai negara sekutu dari Korea Utara juga mengalami kekhawatiran yang sama. Di satu sisi, China berada di posisi yang memihak tapi tak jarang juga China berada di posisi yang tidak mendukung. Sebagaimana hal tersebut dilihat melalui China yang mendukung sanksi internasional terhadap Korea Utara, namun pada saat yang sama tetap menjaga hubungan yang baik dengan Korea Utara dengan menolak sanksi yang keras.
Amerika Serikat sebagai negara sekutu dari Korea Selatan dan Jepang yang juga turut berkepentingan besar di Asia Timur seringkali terlibat dalam persoalan nuklir Korea Utara, misalnya dalam membantu Korea Selatan dengan meningkatkan sejumlah kebutuhan persenjataannya dan memperkenalkan sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) sebagai bentuk melindungi sekutunya dari serangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara sewaktu-waktu.
Rusia dalam ketegangan yang terjadi di semenanjung Korea tidak terlibat langsung. Namun, Rusia pada dasarnya memiliki kepentingan untuk tetap menjaga kestabilan kawasan tersebut. Rusia memandang Korea Utara sebagai penyeimbang pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Timur sekaligus sebagai ancaman apabila nuklir tersebut tidak terkendali. Oleh sebab itu, Rusia menentang penambahan sistem pertahanan rudal yang dilakukan antara Amerika Serikat -- Korea Selatan -- Jepang, tetapi di saat yang bersamaan turut berpatisipasi dalam mendukung sanksi yang dikerahkan oleh PBB terhadap Korea Utara.
Namun, kondisi-kondisi tersebut justru memberikan reaksi Korea Utara yang semakin agresif. Hal itu ditunjukkan dengan ambisi Korea Utara dalam meningkatkan perkembangan program nuklirnya.