“Besok ikut mangkal di stadion nggak Mas?” suara parau Dulgani memecah keheningan senjahari di halaman rumah Saidi. Sedari tadi hanya terdengar suara gemericik air dari kran yang sengaja dibuka Saidi untuk mengisi ember plastik merah besar berisi buah-buahan segar yang akan dicucinya sebagai bahan baku berjualan rujak esok hari. Dulgani, tetangga sebelah, sesama penghuni rumah bedeng di tengah kampung Rawa Bebek adalah sesama pedagang keliling. Lelaki setengah baya asal Karawang itu memilih menjadi penjual es campur dan es doger keliling di daerah Bekasi sejak lima tahun lalu. Sementara Saidi sendiri, kelahiran Wonosobo namun sudah tujuh belas tahun hijrah ke Bekasi dan berjualan rujak dan buah potong menggunakan gerobak yang ia dorong berkeliling dari kampung ke kampung.
Sambil mengeringkan bengkuang dan mentimun dengan kain lap, Saidi menunggu Dulgani kembali bersuara. “Udah tahu belum besok teh bakalan ada demo gede-gedean di stadion Bekasi” Dulgani mengabarkan. Saidi menggeleng, “Belum dengar saya, memangnya demo apa? Bukannya yang suka ada demo tuh di kawasan industri?” sahutnya. “Eeeehh, bukan buruh pabrik aja atuh yang bisa demo, masyarakat lain juga bisa, demonya buat semua katanya, denger-denger mah mau pada protes kenaikan harga bensin” Dulgani menjawab dengan nada menggurui. Saidi cuma melongo mendengar jawaban Dulgani barusan. Kenapa juga harga bensin sampai harus di demo oleh masyarakat. Apa semua masyarakat itu membeli bensin?.
Saidi mengingat dirinya sendiri yang sejak lahir sampai setua sekarang belum pernah membeli bensin dengan alasan apapun untuk di pakainya sendiri. Istrinya mungkin pernah ke pompa bensin, tapi itu untuk membeli minyak tanah untuk memasak. Sebab ada waktunya minyak tanah menghilang dari warung-warung dan pasar tradisional, sehingga Sainah, istri Saidi mesti mengantri di pompa bensin untuk mendapatkan seliter atau dua liter minyak tanah dengan harga yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Tapi itu pun sudah lumayan, karena ketika dijual di warung pun, harga minyak tanah waktu itu bukan main mahalnya. Sainah yang setiap pagi berjualan nasi uduk dan gorengan di halaman rumah tentu saja berkepentingan dengan keberadaan minyak tanah. Harga mahal terpaksa di bayar daripada harus kehilangan banyak pelanggan yang terlanjur menyukai nasi uduk buatannya. Tapi sekali lagi itu dulu, Saidi hampir lupa tahun berapa, yang jelas beberapa tahun yang lalu. Sekarang antri mengantri di pom bensin tak pernah lagi mereka lakukan karena Sainah sudah beralih menggunakan komporyang berbahan bakar gas. Kompor satu tungku dan tabung gas kecil warna hijau muda didapatnya pertama kali dari ketua RT beberapa tahun lalu, dan hingga kini masih setia digunakannya untuk memasak.
Saidi ingin membuka mulut untuk bertanya, tapi diurungkannya karena Dulgani keburu melanjutkan “ tadi siang saya ketemu Pak RT mas Saidi, katanya besok kita harus ikutan demo itu. Tahu tidak kalau harga bensin keburu naik, bakalan susah rakyat kecil seperti kita. Harga bahan makanan bakalan naik dan ongkos angkot jadi mahal. Jadi kita bakalan susah kemana-mana.” Begitu rupanya, Saidi membatin. Seingatnya, setiap menjelang puasa, atau lebaran atau hari natal harga bahan pokok di pasar selalu naik, dan kalaupun semua hari raya itu sudah lewat, tetap saja harga bahan makanan itu tak kembali turun seperti semula. Toh, masyarakat tetap berbelanja di pasar, malahan berbelanja lebih banyak dengan alasan butuh lebih banyak makanan di hari raya. Mereka tidak protes apalagi demo. Soal ongkos angkot, Saidi lebih tidak paham, maklum kemana-mana ia lebih suka berjalan kaki, atau paling banter menggenjot sepeda kumbangnya berboncengan dengan istri. Saidi jadi teringat cerita Sainah dulu ketika masih sering bolak balik ke pompa bensin, kata Sainah, di pompa bensin, yang mengantri bukan cuma pembeli minyak tanah seperti dirinya, tetapi juga banyak mobil-mobil bagus yang berkilat-kilat catnya mengantri membeli bensin. Ada juga angkot, tapi lebih banyak mobil-mobil pribadi yang mengantri membeli bensin yang sama dengan angkot. Saidi berpikir, jika harga bensin naik mestinya pemilik mobil-mobil bagus itu yang harus protes dan berdemo. Toh mereka yang rutin membeli bensin lebih banyak daripada supir angkot atau masyarakat kecil macam dirinya. Tapi kalau dipikir-pikir,orang yang sudah mampu membeli mobil-mobil bagus, seharusnya mereka juga mampu membeli bensin dengan harga yang lebih mahal. Ah, mending kalau harga bensin jadi mahal, pikir Saidi, biar orang-orang kaya nggak keenakan terus bisa membeli bensin banyak dengan harga sekelas supir angkot. Lebih mending lagi kalau dari hasil menjual bensin dengan harga mahal itu, pemerintah berbaik hati membagikan uangnya buat rakyat kecil seperti yang pernah diterimanya dulu, walaupun harus mengantri berjam-jam di kelurahan. Kalau ada acara bagi-bagi uang begitu, Saidi dengan suka cita mengamini kenaikan harga bensin.
“Kang Dulgani ikut demo atau berjualan besok di stadion?” akhirnya Saidi bertanya penuh rasa ingin tahu. Dulgani terdiam sesaat, seperti sedang menimbang-nimbang sebelum akhirnya menjawab, “Saya mau ikut demo saja kayaknya, sekali-kali, kepingin tahu seperti apa rasanya. Lagipula, kata Pak RT, ada yang bakalan bagi-bagi kaos gratis, ngasih nasi bungkus, dan banyak wartawan dari koran, dan kamera TV. Siapa tahu saya bisa masuk TV pas sedang demo, lumayan biar orang di kampung saya bisa lihat” Dulgani tersenyum-senyum sendiri membayangkan dirinya yang bakalan muncul di televisi. Saidi menggeleng-gelengkan kepala melihat tetangganya yang sedang menghayal menjadi bintang televisi. Informasi soal pembagian kaos dan nasi bungkus belum terlalu dimengertinya. Maklumlah, walaupun usianya sudah hampir enam puluh tahun, Saidi belum pernah sekalipun turun berdemo. Kalau ikut kampanye partai politik ia pernah. Itupun niat awalnya ia hanya ingin berjualan di lokasi tempat sebuah partai politik mengumpulkan pendukungnya. Ternyata tanpa disangka-sangka, ia ikut memperoleh sebuah kaos gratis, selembar ikat kepala dan selembar poster bergambarkan lambang partai tersebut. Belum lagi, ada hiburan menarik berupa penampilan artis penyanyi dangdut yang terkenal. Lumayan sekali, rejeki memang tak kemana, dagangan habis, dapat bonus pula. Saidi jadi sumringah mengingat pengalaman itu. Soal demo, Saidi hanya pernah melihatnya di televisi atau membacanya dari koran yang sesekali dipinjamnya dari salah seorang tetangganya yang lain yang kerjanya menjual koran pagi dan petang. Saidi berpikir, jika bakalan ada pembagian kaos dan nasi bungkus gratis, berarti yang menyumbang mungkin adalah salah satu partai politik. Selama ini Saidi hanya tahu bahwa demo sama saja dengan aksi kerusuhan, sebab yang digambarkan di koran-koran atau televisi pastilah tentang pemblokiran jalan umum, acara berjalan kaki menuju gedung pemerintah, kemacetan panjang terjadi dimana-mana, pembacaan pidato yang berapi-api dari pemimpin demo yang biasanya disambut teriakan setuju dan tepuk tangan pengikutnya, apapun isi pidatonya, paham atau tidak paham. Tak jarang diberitakan demo yang berakhir dengan bentrokan antara masyarakat pendemo dan aparat kepolisian serta diakhiri dengan kerusuhan dan pengrusakan fasilitas umum. Membayangkan demo serupa itu, Saidi sungguh tak berselera ikut serta. Tinimbang berdemo yang ujung-ujungnya menguntungkan pemakai bensin yang sudah kadhung kaya, Saidi berpikir lebih baik ia menyimpan tenaga untuk menghidupi diri dan istrinya. Rugi juga sudah serak-serak berteriak, capek-capek ikut rombongan berkonvoi, dan mengganggu ketertiban umum pula, jatuhnya ia tetap tidak paham apa yang mesti dibela dan buat keuntungan siapa.
“Jadi bagaimana Mas Saidi, ikut saya besok?” suara Dulgani mengusik pikiran Saidi. Sambil menyusun buah-buahan dalam gerobaknya, Saidi menyahut, “Saya pikir-pikir dulu lah Kang, saya nggak bakat ikut-ikutan demo”. Dulgani terkekeh, “demo saja lho, nggak perlu bakat-bakatan segala, atau besok saya mintakan kaosnya dulu buat sampean, supaya semangat” Dulgani sedikit membujuk, rupanya ia gigih juga mencari teman untuk turun ke jalan. Saidi tersenyum sopan, “ nggak usah repot Kang, kalau sudah rejeki saya, nggak usah minta juga bakalan dapat” sahutnya. Dulgani mengangguk-anggukan kepalanya, “Sampean ini memang nrimo orangnya, nggak suka maksa. Ya sudah, semoga rejeki sampean bagus besok ya Mas, siapa tahu kita besok ketemu disana, itu juga kalau Mas Saidi kepingin mampir dan melihat demo dari dekat”. Saidi mengamini doa Dulgani dalam hati.
---
Selepas Isya, Saidi bercerita pada tentang Sainah obrolannya dengan Dulgani soal demo kenaikan bensin esok hari. Istrinya mendengarkan dengan seksama, “Jadi, Bapak mau ke tempat demo itu?” tanyanya. Saidi tidak langsung menjawab. Dalam pikirannya ia menghitung-hitung, berapa kira-kira jumlah orang yang akan berkumpul di stadion Bekasi. Jika melihat contoh demo serupa yang ditayangkan di televisi, kemungkinan akan banyak jumlahnya. Hmmm, berarti, mungkin ia memang harus kesana. Bukan untuk ikut-ikutan berdemo. Sungguh ia tak begitu peduli jika harga bensin bakalan naik lagi. Sejak dulu, ia tetap menjadi bagian dari masyarakat kecil, yang mesti membanting tulang untuk bertahan hidup. Hitung-hitungan macam apapun nyaris tidak membawa pengaruh apapun baginya dan keluarganya. Saidi cuma percaya, bahwa Gusti Alloh akan memberi rejeki pada hambaNya yang keras berusaha. Terbukti, dengan harga bensin berapapun, selama ia mendorong gerobaknya berkeliling kampung, ia dan istrinya masih bisa hidup hingga sekarang.
Saidi memandangi raut wajah Sainah yang masih penasaran dengan jawabannya, “Insha Alloh Bu, saya besok akan ikut ke stadion. Doakan saja banyak orang yang ikut berdemo, tidak ada kerusuhan, dan udara cukup panas. Semoga dagangan kita laris dan habis” akhirnya ia menjawab. Sainah mengamini. Sungguh, mereka adalah contoh orang-orang sederhana yang ternyata lebih peduli ilmu ekonomi dan tak gampang dipolitisasi.
Adelaide, 29 Maret 2012