Mohon tunggu...
Selvia Vide
Selvia Vide Mohon Tunggu... Akuntan - ASN, Ibu Rumah Tangga, Anak Sekolahan

Suka mengamati, belajar dan merefleksikan apa yg didapat selama perjalanan hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulanglah, Nak......

5 Juni 2024   15:22 Diperbarui: 5 Juni 2024   15:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap nanar ke tempat makan yang tak tersentuh. Sudah hari ketujuh, tempat makan warna hijau lumut seolah sepi pemilik. Kemarin suamiku bilang, "Sabar mah, pasti tuch anak akan pulang. Emang gak perlu makan apa atau mandi. Gak lah, dia gak akan jadi Bang Thoyib", ucap suamiku sambil berkelakar. Hemmm, aku mengelus dada semoga saja anak itu tidak pernah mengerti arti lagu bang Thoyib, biar tidak meniru kelakuan Bang Thoyib yang katanya gak pulang-pulang. Aku tersenyum kecil, semoga anak itu akan pulang besok, doaku sambil melanjutkan memasak makan siang.

"Mah...mah...kudengar panggilan Vela si bungsu". Aku baru saja masuk ke rumah sesampai dari kantor sore itu. "Apa Vel, kok heboh gitu sich. Mama baru masuk rumah nich, sebentar ya nak", ujarku sambil mencopot sepatu dan mengganti dengan sandal rumah. "Mah, si anak lanang belum pulang juga?", kutatap Vela yang mengejarku ke dalam kamar. "Dari kemarin mama lihat sich tempat tidurnya tetap rapu nak, kenapa?".

"Kayaknya dia gak pulang lagi dech mah", ucap Vela pelan. Nyess, serasa air dingin menyiram hatiku. Ini sudah hari kesepuluh, aku bahkan sudah meminta bantuan Pak RT jika si anak lanang sempat main di sekitar daerah rumah kami. Namun sampai hari ini, Pak RT belum juga memberi kabar apakah anak lanangku terlihat berkeliaran di daerah sekitar rumah. Kemanakah engkah nak, apakah engkau masih marah sama mama karena kejadian sepuluh hari yang lalu.

Aku mengusap air mata yang diam-diam menitik di ujung mata. Aku ingat sepuluh hari yang lalu, aku memarahi si lanang karena sepanjang hari dia menguntit aku ke semua penjuru rumah sambil mengeluh dan berceloteh terus. Aku sempat memarahinya dan memintanya untuk duduk diam agar tidak mengganggu aku yang sedang sibul mengepel rumah. Esok harinya aku tidak melihat anak lanangku di ruangan manapun, dan ketika aku periksa tempat makannya, sepertinya hari itu dia tidak menyentuh makanan yang kuberikan. Hari berlanjut dan kabar si lanang semakin kabur. Air mataku telah terkuras habis. Foto-foto kebersamaan kami sekeluarga dengan si lanang, setiap kali kulihat makin membuat hatiku kalut. Tetangga kiri kanan sudah kutanya dan tidak ada yang pernah melihat si lanang hari-hari terakhir ini.

Sore itu aku sedang tergolek di tempat tidur, sudah sejak si lanang tak pulang tidurku tak pernah nyenyak. Suamiku sampai memintaku meminum pil tidur agar aku menjadi lebih tenang. Berkali-kali aku menolaknya dan berkata, obatku hanya jika si anak lanang pulang ke rumah, maka tidurku pasti akan nyenyak lagi. 

"Mah....perlahan kutatap suamiku yang duduk di tepi tempat tidur menatapku". Kutatap wajahnya yang seolah-olah menjadi lebih tua selama sepuluh hari ini. "Kenapa pah?", kuperhatikan suamiku. "Mah,....kayaknya kita perlu relakan si lanang dech....", ucap suamiku perlahan. "Aku menunduk, air mataku menitik". "Tapi aku belum rela pah, sedari kecil dia kutimang dan kubesarkan, ...sekarang kita tidak tahu dia di mana pah...", ucapku terbata-bata.

"Iya mah.....papa ngerti....papa juga gak rela.....tapi kita sudah menunggu hampir setengah bulan dan si lanang belum kembali juga", ucap suami lagi". Aku menarik napas perlahan. Mataku terbayang wajah ganteng si lanang, dengan kumis melintangnya. Gadis mana yang tidak akan tertarik dengan tubuh gagah kekarnya, meskipun kulit si lanang tidak seputih mamanya, setidaknya lanangku terganteng di sekitar komplek rumahku. Dengan enggan kutegakkan badanku, bertumpu pada setumpuk bantal di ujung tempat tidur.

"Pah,..... kalau memang menurut papa, mama harus relakan, ya udah mama belajar nerima dech. Lalu menurut papa gimana kita sekarang?",  aku menatap suamiku lekat-lekat.

"Ya mah, kalau mama gak keberatan, kita cari pengganti si lanang saja ya, gimana?". "Maksus papa gimana?", aku menatap suamiku sedikit bingung. "Iya mah, maksud papa minggu depan pas kita ke gereja, pulangnya kita mampir saja ke petshop.....kita cari kucing yang miring si lanang, gimana?". Aku terdiam, saran suamiku ini sudah kuperkirakan sejak lama. Memang gampang mencari ganti kucing karena toch ada banyak kucing yang dijual di petshop. Sayangnya, mengganti perasaan tidak semudah mengganti kucing. Ku tatap pigura di atas tempat tidur, disana terlihat fotoku sedang menggendong si Kecap, anak lanangku yang hilang dan Coconut, ibu dari Kecap. Perlahan foto itu menjadi kabur tertutup air mataku. Pulanglah Kecap, kami semua merindukanmu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun