“The most important thing in communication is hearing what isn’t said.” – Peter Drucker
Suatu hari seorang kawan bercerita kepada saya, "gue kesel banget dech sama bini gue", ujarnya dengan wajah yang kelihatan gusar. Sebagai perempuan dan juga istri, saya paling tidak enak dengan teman, khususnya rekan pria yang curcol soal hubungan rumah tangganya, rasanya kok kurang etis.
Tapi curcol rekan saya kali ini membuat saya merefleksikan apa yang menjadi keluhannya. "Gue baru masuk pintu rumah, bini gue udah merepet kayak mitraliur (red: jenis senapan yang mampu menembakkan banyak peluru). Tunggu gue duduk kek, copot sepatu kek, baru ngoceh. Minimal, dia nanya ke gue, gimana di kantor mas? capek gak mas? ini air putihnya mas...".
Penasaran dengan curcolnya, saya menanyakan apa sich yang di'komunikasikan' sang istri. "Sepele, soal anak yang gak mau belajar dan main HP terus. Atau soal asisten rumah yang ngerumpi terus dengan asisten sebelah, selalu ada aja keluhannya," ujar sang rekan tadi dengan ekspresi yang kelihatan putus asa.
Perbincangan dengan rekan tadi membuat saya tercenung, selama ini kita selalu 'take it for granted' untuk indra komunikasi yang diberi Tuhan, sebuah mulut, sepasang telinga, wajah yang bisa berekspresi, kaki tangan yang bisa memberi 'gesture' termasuk badan kita sendiri. Kita tidak pernah menyadari bahwa semua bagian tubuh kita dapat berkomunikasi.
Bagaimana kita berkomunikasi dan dengan cara apa, itulah yang menjadi bahasaan kita. Kita menyadari bahwa untuk berkomunikasi dengan badan kita ada 4 (empat) bentuk sumber komunikasi yaitu:
1. Komunikasi lisan
Bentuk komunikasi lisan adalah bentuk komunikasi tertua dimana sejak manusia diciptakan manusia sudah berkomunikasi. Jika melihat pada kitab suci kita tahu saat manusia diciptakan manusia sudah berkomunikasi secara oral dengan Tuhan dan kemudian dengan sesama manusia.
2. Komunikasi tertulis