[caption id="attachment_265380" align="alignright" width="300" caption="Pelayanan di Pasar Tradisional"][/caption] Berita yang sedang hangat saat ini di Kota Malang adalah demo ratusan pedagang Pasar Dinoyo yang menolak pembangunan mal, di lokasi pasar dan relokasi pedagang. http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2010-09-20/78055 Di saat bersamaan saya mendapat kiriman link dari teman. (Lihat) Luar biasa sekali penggambaran tentang pasar tradisional di artikel tersebut. Sebagai sarana transaksi antara pedagang dan pembeli, pasar tradisional memberikan lebih banyak pilihan seperti kualitas barang sesuai yang diinginkan, harga yang bisa ditawar dan komunikasi langsung dengan pedagang. Di kota Malang memang terdapat banyak pasar tradisional yang hampir semuanya punya wajah yang sama : kumuh. Hal ini menjawab pertanyaan tentang : bagaimana pasar tradisional bisa bersaing dengan pasar modern kalau begitu tidak nyaman bagi pembeli untuk berbelanja. Sebut saja lantai yang kotor, becek dan berbau akibat sampah yang bertebaran dimana-mana. Tempat yang sempit dan harus berdesak desakan dengan pembeli lain, serta beberapa penjual yang kiosnya "nyelempit". Ditambah dengan tidak adanya manajemen tempat yang jelas, yang seharusnya memberikan pengelompokan barang yang dijual, misalnya sayur,daging, atau buah. Maka sudah biasa kalau kita melihat pedagang yang berjualan ikan, bersebelahan dengan penjual baju di beberapa pasar. Manajemen pengelolaan pasar ini lah yang harus diperbarui, mengingat kehidupan ratusan keluarga bergantung padanya. Pengelolaan pasar yang buruk sebenarnya tidak hanya mempengaruhi pembeli, namun juga berdampak pada pedagang, hasil yang mereka peroleh, dan pengembangan usaha. Maka tidak mengherankan apabila kehidupan ekonomi para pedagang begitu-begitu saja, jarang yang berkembang dengan cepat. Peluang inilah yang kemudian disabet oleh para pengusaha pasar modern, dimana mereka menjawab kebutuhan masyarakat akan tempat berbelanja yang luas, bersih, nyaman, barang berkualitas dan harga yang terjangkau. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi pengelola pasar tradisional untuk membuka mata. Bukannya terus tenggelam pada keadaan yang tetap sama. Mengubah wajah pasar menjadi tempat yang nyaman bagi pedagang dan pembeli, menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungan. Memperdagangkan barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang bersaing… Pasar tradisional adalah cermin ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya, melibatkan ratusan orang, dan berputarnya uang dalam jumlah besar. Potret inilah yang kami hadapi setiap hari dalam pelayanan harian ke pasar tradisional. Ratusan pedagang pasar yang menabung 10rb – 50 rb hari dengan menyisihkan dari penghasilannya, mempunyai mimpi yang tinggi : ingin menyekolahkan anak-anak mereka sehingga bisa menjadi orang yang terpandang di mata masyarakat. Kemarin ketika saya bersama seorang teman staff BO ke Pasar Dinoyo, seorang ibu pedagang cabe bekata : “nggak apa-apa apabila orang tuanya ngemper dan mbambong (berjualan di emperan ) kayak gini, yang penting anak saya tidak seperti saya, bisa sekolah, bisa jadi dokter.” Kebetulan di pasar tersebut ada pedagang yang anaknya menjadi dokter sementara orang tuanya mempunyai beberapa pinjaman untuk membiayai kuliah anaknya. Menabung setiap hari dipergunakan untuk mengangsur pinjaman. Puluhan pasar tradisional dilayani oleh CU Sawiran setiap hari, gambaran nyata tentang kehidupan para pedagang terhampar di depan mata. Seharusnya pemerintah memfasilitasi pembangunan pasar yang sehat, bersih dan mampu bersaing dengan pasar modern
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H