Ladang yang hijau dan subur menyejukkan mata kami ketika melintasi jalan yang berkelok-kelok menuju suatu desa dimana para anggota menunggu. Perjalanan selama beberapa jam terlupakan oleh kesejukan udara yang kami hirup dan pemandangan yang luar biasa indah.
Disana-sini terlihat para petani bekerja di ladang mereka, mencangkul, mengangkut karung pupuk, dan mencabut rumput liar. Beberapa kali kami berpapasan dengan sepeda motor yang mengangkut rumput untuk makanan ternak.
Mengingat kembali gagasan awal berdirinya CU Sawiran;Â adalah mencari solusi untuk sebagian besar petani yang saat itu mengalami kesulitan dalam meningkatkan jumlah pendapatan dan taraf hidup karena tidak mudah mencari modal kerja bagi para petani. Kesulitan itulah yang membuat banyak masyarakat terjerat praktek rentenir dengan kredit berbunga tinggi, yang memang hadir dan mudah didapatkan ketika dibutuhkan oleh para petani.
Di beberapa daerah, para petani memang mengalami kesulitan dalam memperoleh pembiayaan usahanya. Bagi banyak lembaga keuangan, sektor pertanian adalah sektor penuh resiko terkait jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas yang tidak stabil. Ketidakpastian usaha akibat serangan hama, harga yang jatuh di pasaran, atau tidak laku di pasar karena kualitas yang buruk adalah beberapa realitas yang harus dialami para petani. Kondisi yang menyebabkan petani harus bertahan dengan usaha yang mereka geluti. Apalagi jika mereka bertani dengan skala usaha yang kecil dan sumberdaya yang minim.
Dahulu ada Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Setelah era KLBI, pemerintah menyediakan permodalan bagi petani yang dinamakan kredit program. Bentuknya antara lain Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK), Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), dan sebagainya. Namun, meski jumlahnya banyak, kredit program belum juga dapat mengakomodasi permodalan seluruh petani di Indonesia. Sebagai contoh, KUR memberlakukan bunga yang tinggi. Besaran bunga dan cicilan ini memberatkan petani, terutama dengan system angsuran secara bulanan. Banyak program-program diatas seringkali gagal dikarenakan tidak adanya pendampingan usaha yang memadai. Akibatnya petani kembali menjadi korban dikarenakan lilitan hutang baru.
Permasalahan permodalan dan pembiayaan bagi petani selama ini tidaklah sebatas kelembagaan saja (jaringan lembaga keuangan yang tidak mampu menembus pelosok-pelosok desa, informasi yang terbatas mengenai prospek usaha pedesaan, dan sebagainya), tetapi juga mengenai dana penjamin atau agunan, serta program pendampingan yang menyertai pinjaman yang diberikan, disertai konsep pengelolaan dan perencanaan keuangan keluarga.
Hadirnya pinjaman pertanian yang diwujudkan dalam produk pinjaman musiman, yang menyesuaikan pembayaran dengan lamanya musim tanam, membuat para petani bisa bernafas lega. Pembelian bibit, pupuk, dan biaya kerja tidak lagi menjadi masalah. Ketenangan dan perencanaan masa depan keluarga sudah terbayang di wajah-wajah mereka.
Saling mendukung dan membantu sesuai semangat credit union lah yang dibutuhkan. Saling kerjasama dalam membangun pelayanan terhadap sesama lah yang dibutuhan. Salam credit union.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H