Kakek tua itu memberi saya kue, namun beberapa menit kemudian istrinya meminta saya membelikan dia coke. Wajarkah? Berada di negri asing tentu saja membawa kita untuk beradaptasi dengan budaya di sana. Hal ini sudah saya pahami, sebelum saja liburan ke Jepang akhir tahun 2011 lalu. Namun empat tahun mempelajari bahasa dan budaya masyarakat Jepang rupanya tidak membuat saya cukup memahami mereka. Ada hal-hal yang tidak diceritakan di buku teks, atau bahkan belum pernah kita dengar sama sekali. Saat itu hari pertama, pagi pertama saya menginjakkan kaki di Tokyo. Dari bandara Narita saya dan kedua saudara laki-laki saya menaiki kereta Narita Express sampai ke stasiun Ikebukuro, stasiun terdekat dengan hotel kami. Tanpa guide, kami bertiga cukup susah payah mencari Prince Hotel Ikebukuro yang sudah di-booking sebelumnya. Begitu kami menemukan hotelnya, kami baru tahu kalau ada sebuah taman di samping hotel tersebut. Berhubung waktu check-in masih lama (kami mendarat pagi di Narita sedangkan baru bisa check-in pukul 2 siang waktu setempat) kami mampir ke taman itu. Banyak kucing-kucing gendut di sana.
Belum lama duduk dan menikmati pemandangan, seorang kakek tua datang menghampiri kami sembari membawa kue. Dalam bahasa Jepang, kakek itu memberikan pada kami kue tersebut dengan cuma-cuma. Wah, tentu saja saya
excited dan senang, dan berpikir "
Oh, ternyata orang tua di Jepang ramah ya. Mereka tidak takut orang asing."
Kuenya ada 3 potong, habis dalam sekejap oleh mulut-mulut lapar kami. Setelahnya, adik saya yang satu asik memotret-motret kucing liar dan pemandangan taman, sedangkan kakak sepupu saya duduk di sebelah saya sambil foto-foto juga. Eh, tidak lama, seorang nenek tua menghampiri kami. Sepengetahuan saya, itu nenek yang sejak tadi duduk bersama si kakek pemberi kue. Dengan suara lirih, nenek tersebut bertanya kepada kami apakah kami mau minuman coke? Wah, saya tolak dengan sopan, tentu saja. Tapi kemudian si nenek berucap lagi, oh rupanya saya tadi salah tangkap maksudnya. Yang benar adalah, si nenek justru meminta saya untuk membelikan coke untuk dia di
vending machine. Kaget. Saya harus menjawab apa, nih? Mau menolak, sungkan karena tadi sudah makan kue. Mau memberi, takut kalau mahal. Si nenek menjelaskan, harganya 150 yen, di
jidouhanbaiki [
vending machine]. Setelah saya intip dompet koin dan menemukan uang pas (Alhamdulillah) saya beri kepada si nenek yang kemudian pergi sambil tersenyum. Spontan saya dan sepupu saya saling memandang. Kemudian saya panggil adik saya yang masih asik foto-foto, dan kamu langsung pergi dari taman tersebut sebelum ada orang asing lainnya yang melakukan hal sama. Kejadian seperti itu belum pernah saya temukan di blog-blog orang, padahal sebelum pergi saya cukup melakukan banyak survei dari internet. Teman-teman yang tinggal di Jepang pun tidak pernah menceritakan hal yang sama, apalagi di buku teks. Sampai sekarang saya masih penasaran sama kejadian itu. Kemarin saya berbincang-bincang dengan atasan di kantor, beliau sempat bertemu dengan "om-om genit" di Ueno Park. Pria seperti itu rupanya senang mengincar orang asing, apalagi kalau bisa berbicara bahasa Jepang, karena orang asing cenderung ramah dan selalu
positive thinking. Teman yang lain juga cerita kalau taman-taman di Jepang itu suka dijadikan area "nongkrong" anak buah para yakuza. Wih, ngeri! Mungkin ini alasan kenapa orang Jepang cenderung cuek dan tidak peduli dengan sekelilingnya, karena salah-salah bisa kena masalah. Satu hal yang kemudian kami paham: Orang Indonesia memang baik dan polos, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya