Mohon tunggu...
Isma Savitri
Isma Savitri Mohon Tunggu... profesional -

bachelor degree japanese literature padjadjaran university, freelance writer and reporter, and cultural division staff of The Japan Foundation Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jepang: Jumlah Pelajar vs Wajib Belajar 9 Tahun

14 April 2014   01:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama saya tidak menulis di Kompasiana, dan kali ini karena ingin sedikit bercerita, maka kembalilah saya ke halaman ini, hehe. Tempo hari saya bertemu dengan teman yang sedang pulang ke Jakarta, di sela-sela libur kuliahnya di Jepang. Teman saya ini sedang mengambil pendidikan post-graduate untuk para guru, mengingat profesinya di Jakarta memang seorang guru, penulis, dan alih bahasa. Dalam perbincangan ringan kami di sebuah cafe, saya mendapat banyak pengetahuan baru tentang suasana pendidikan di Jepang saat ini. *Sebelumnya, mohon maaf karena saya memang tidak mengadakan riset terkait hal ini. Hanya sekedar mengulang apa yang kami bicarakan dengan santai saja* [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Gambar didapat dari konsultanpendidikan.com"][/caption] Banyak dari kita yang sudah tahu, bahwa semakin hari tingkat kelahiran di Jepang semakin rendah. Kebanyakan pemuda-pemudi di Jepang menghindari pernikahan, dan cenderung workaholic. Jika akhirnya menikah, kebanyakan saat mereka sudah sampai di usia 40-an. Di usia seperti itu, tidak sedikit juga dari mereka yang menghindari memiliki anak atau sengaja membatasi kehamilan. Kondisi seperti ini mengakibatkan jumlah kematian di Jepang lebih banyak daripada jumlah kelahiran. Pada akhirnya, Jepang semakin kekurangan penduduk di usia produktif dan semakin kekurangan jumlah penduduk. Kantor saya sendiri, yang merupakan sebuah lembaga budaya Jepang di Indonesia, setiap tahun mengirimkan puluhan tenaga perawat dari Indonesia untuk membantu para manula di Jepang. Tentunya sebelum berangkat, mereka dibekali dengan berbagai ilmu perawatan dan bahasa Jepang. Rupanya kondisi penduduk di Jepang ini juga memberi pengaruh ke area pendidikan di Jepang. Hal ini yang paling dirasakan oleh teman saya, yang memang berkutat di area tersebut. Banyak TK dan SD yang terpaksa tutup karena sudah tidak memiliki murid lagi. Jadi kelihatan, kan, kalau ini merupakan salah satu efek dari kurangnya jumlah anak-anak di Jepang. Sampai ke tingkat universitas, jadinya banyak juga bangku kosong di setiap universitas. Tapi tentunya sebuah universitas tidak bisa serta merta menutup sekolahnya, kan. Maka sebagai salah satu solusinya, masing-masing universitas gencar mempromosikan program-program beasiswa untuk siswa asing agar kursi-kursi yang kosong menjadi tersisi. Di lingkungan saya yang memang kumpulan pelajar bahasa Jepang, solusi ini cukup berpengaruh dan ampuh. Lalu saya jadi teringat cerita seorang teman yang menjalani masa SD dan SMP di Jepang. Sebagai negara yang sama-sama menganut kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun, rupanya metode yang dilaksanaka di Jepang berbeda dengan di Indonesia. Di sini, masing-masing anak diwajibkan bersekolah SD - SMP - SMA dan lulus di setiap jenjangnya. Masalah biaya memang sudah tidak perlu dikhawatirkan, karena banyak bantuan biaya sekolah bagi masyarakat yang kurang mampu. Hanya saja, Ujian Nasional masih sangat menjadi "momok" bagi sebagian besar pelajar, apalagi yang berasal dari daerah. Sedangkan di Jepang, setiap anak diwajibkan sekolah SD - SMP - SMA dan mereka sudah dijamin lulus di setiap jenjangnya. Maksudnya? Jadi para murid kelas 6 SD, mereka menjalani ujian akhir itu bukan untuk lulus dari SD, tapi untuk menentukan ke SMP mana mereka akan melanjutkan sekolah. Ada jajaran SMP bagus, dan jajaran SMP kurang baik. Anak dengan nilai ujian yang baik, bisa masuk ke SMP yang baik. Sedangkan jika nilainya jelek, terpaksa hanya bisa melanjutkan ke SMP yang lebih rendah. Dengan kata lain, anak-anak tersebut pasti lulus SD, berapapun nilai ujian mereka. Pola yang sama diulang saat menuju ke SMA. Maka seperti yang sering kita lihat di berbagai anime dan manga Jepang, ada sekolah-sekolah yang memang berisikan kumpulan anak nakal dengan kemampuan akademis rendah. Membandingkan dengan sistem di Indonesia, saya jadi berpikir, mana yang lebih baik? Saya sendiri tidak dalam kapasitas pengetahuan yang cukup untuk membicarakan masalah sistem pendidikan, tapi sebagai warga Indonesia, ada aspek-aspek yang membuat saya menganggap sistem di Indonesia lebih adil dan baik. Mengenai tingkat pertumbuhan penduduk, justru Indonesia terbalik dengan Jepang. Banyak pemuda-pemudi kita yang pintar dan mampu bersaing dengan pelajar asing. Jadi menurut saya, bagus juga kalau pelajar Indonesia bisa beramai-ramai menimba ilmu di Jepang, dan nantinya kembali ke Indonesia untuk memperbaiki ibu pertiwi. Walaupun hanya dibicarakan dengan ringan, cerita dari teman saya tadi cukup memperluas wawasan saya mengenai dunia luar. Saya mengharapkan cerita lainnya saat dia kembali dari Jepang nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun