Pengembangan profesionalisme Guru dalam pembentukan karakter siswa Â
Oleh : Mukarromah Robi'atus Shofiyah
Muqoddimah
Akhir-akhir ini kita disuguhi tontonan yang sangat tidak menarik dengan maraknya tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang banyak menelan korban. Hanya gara-gara masalah sepela mereka saling menyerang, membunuh dan membuat kerusakan. Belum lagi  prilaku  destruktif lainnya, seperti pesta miras, kecanduan narkoba, free sex, pornografi, kebiasaan membolos, menyontek, kemalasan, ketidak-jujuran, ketidak-disiplinan, ketidak-hormatan pada orang tua dan guru dan sederet prilaku tidak terpuji lainnya, ditambah lagi kerendahan prestasi, kenihilan curisity, apalagi kreativitas dan inovatif. Hal ini akibat rapuhnya fondasi morality yang saat ini berada pada titik terendah, dengan porak porandanya tatanan nilai agama dan masyarakat. Maka kalau ditelusuri secara mendalam hal ini akibat kegagalan pendidikan bangsa.  Yang berakibat pada krisisi moral anak bangsa. Melihat kondisi seperti ini perlu pemikiran ulang, kebijakan ulang, redefinisi dan reorientasi, sekaligus reformasi dan reposisi mengenai pendidikan nasional. Salah satunya adalah upaya meningkatkan peran guru dalam membantu mengatasi  masalah bangsa.
Urgensi Pendidikan Bagi Sebuah Bangsa
Secara fitrah individu manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apa pun, tetapi ia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan masyarakat orang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan. Pendidikan menurut Hery Noer Ali, merupakan persoalan penting bagi semua umat manusia. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Memang pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka (2000 : 1).
Pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, Â sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia yang bisa dilakukan sejak masih dalam kandungan (Mansur, 2005 : 1). Begitu pentingnya pendidikan bagi kita, maka tidak dapat dibayangkan misalkan tanpa pendidikan, manusia sekarang tidak akan berbeda dengan manusia jaman dahulu, bahkan mungkin akan lebih terpuruk atau lebih rendah kualitas peradabannya. Oleh karena itu perlu menjadi kekhawatiran bersama bila hal senada ternyata mulai menggejala pada masyarakat kita. Sangat memilukan bahwa masyarakat Indonesia yang relegius dewasa ini terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan (Abdurrahman Mas'ud, 2004: 122).
Sedangkan Azyumardi Azra (2002 : 3), memandang pendidikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan merupakan program strategi jangka panjang. Oleh karena itu Indra Djati Sidi mengatakan peningkatan bidang pendidikan tidak bisa dijalankan secara reaktif, sambil lalu dan sekenanya, melainkan mesti dengan cara pro aktif, intensif dan strategis (2003 : 4). Dimana Pendidikan dalam Islam khususnya, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu (Muhaimin, et.al, 2002 : 11).
Dalam Sistem Pendidikan Nasional secara tegas dinyatakan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan bermutu merupakan harapan bangsa, untuk melahirkan manusia Indonesia seutuhnya. Lebih lanjut Soebagio Atmodiwirio (2005 : 30) mengatakan bahwa fungsi pendidikan nasional untuk memerangi segala kekurangan, keterbelakangan, kebodohan, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan. Dengan demikian jelas bahwa fungsi pendidikan nasional menjamin eksistensi  bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia. Terlebih pendidikan agama Islam di zaman modern dan global seperti saat ini.
Namun pendidikan khususnya agama Islam yang berkembang saat ini pada kenyataannya menurut A. Qodri  Azizi (2003 : 65), sering dipraktekkan sebagai pengajaran yang sifatnya verbalistik. Pendidikan yang terjadi di sekolah formal adalah dikte, diktat, hafalan, tanya jawab dan sejenisnya yang ujung-ujung hafalan anak ditagih melalui evaluasi tertulis. Hal ini berarti anak didik baru mampu menjadi penerima informasi, belum menunjukkan bukti telah menghayati nilai-nilai Islam yang diajarkan. Pendidikan agama Islam seharusnya bukan hanya menghafal dalil-dalil agama atau beberapa syarat dan rukun ibadah saja, tetapi merupakan upaya, proses usaha mendidik murid untuk memahami atau mengetahui sekaligus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam dengan cara membiasakan anak mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam sejatinya untuk diamalkan bukan sekedar dihafal, agar peserta didik mampu berbuat amar ma'ruf nahi mungkar.
Berdasarkan paparan terdahulu maka disinilah letak fungsi dan peran guru yang sangat urgen dalam mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Dimana eksistensi guru menurut Mohammad Uzer Usman (1996 : 7) bagi suatu bangsa amatlah penting. Apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, demi keberlangsungan hidup bangsa di era globalisasi dan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk dapat mengadaptasikan diri. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat. Lalu bagaimanakah upaya untuk  membangun citra baru guru di era globalisasi ? Lalu bagaimana pula profesionalitas guru menurut kenyataan dan harapan ke depan ?