Sekolah Baru
“Bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa semua akan baik-baik saja?”
Ani bergegas menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke kota. Ayah tidak bisa ikut karena harus bekerja. Hanya Ani yang bisa menemani ibu, UN nya sudah selesai, hanya menunggu hasil. Sedikit ragu, karena konsentrasinya sempat terpecah-pecah--belajar sambil menangis.
“Ani pergi, Yah.”
Ayah menjadi sangat pendiam saat abang sakit. Banyak pikiran. Kasian ayah, Tuhan, kenapa kau renggut senyum ayah dari hidup kami?
Travel melaju cepat, ini kali pertamanya Ani berangkat sendirian dengan waktu perjalanan empat belas jam. Ibu masih dikota, sudah tiga minggu tidak pulang. Ayah baru sampai kemarin, dan Ani lah yang harus menggantikan ayah. Dan ini, adalah untuk pertama kalinya Ani tidak mabuk. Cinta memang bisa merubah segalanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Eh Ani udah nyampeee.”
Tante menyambut Ani hangat, segera memanggil ibu yang baru selesai sholat Dhuha.
“Ayo, Nak, langsung mandi. Temani ibu mengantar nasi Abang di rumah sakit.”
Ani bergegas mandi dan siap-siap. Tak terasa lagi lelah semalaman terguncang oleh jalanan rusak. Ini urusan orang yang sangat dicinta. Tak akan pernah ada lelah.
“Ani berangkat ya, Tante.”
Ani dan ibu bergegas menaiki angkot merah, diam sepanjang perjalanan. Mata ibu, mata itu teramat lelah.
“Ayo, Nak.”
Ibu membimbing Ani, melalui kelak-kelok rumah sakit jiwa. Ani tergugu, melihat abang terduduk lesu disamping barak. Ia diam. Ibu membuka kotak nasi yang ia bawa. Abang bergegas makan, tiga menit, habis. Kembali duduk diam setelah habis satu botol air mineral. Ibu meminta Ani tetap diruangan abang sementara ibu dipanggil dokter. Ani menangis, derasss—dalam diam.
“Aaa,” Nafas Ani putus-putus, berusaha memanggilnya.
“Jangan tinggalin abang, jangan tinggalin abang.”
Ani sudah tak bisa menahan sesak yang memuncak. Ani memeluk Bang Nata, erat—sangat erat.
“Ani tidak akan pernah meninggalkan, Abang. TIDAK AKAN PERNAH!” Ani menjawab kuat.
“Janji?”
“Janji!”
Janji itu tergurat jelas dilangit, membuat seluruh penghuni langit menangis, sungguh menangis.
*Ani sudah bangun dipagi buta, memakai seragam SMPnya, dia akan mengikuti tes sebuah SMA swasta asrama yang terbaik di kota bersama dua orang temannya dari desa, Aling dan Wina. ‘Aku harus lulus, demi abang.’
“Mudah sekali ya soal tadi?”
“Iya Ling, mudah sekali. Iya kan, Ni?”
Ani tersenyum tipis. Ia benar-benar pusing tadi. Kepalanya mendadak sakit. Ia takut tidak lulus.
*“Atas nama Viani Olivia ya, sebentar ya, saya lihat dulu.”
Ani gemetaran, dag dig dug. Keringatnya mengalir deras—keringat dingin.
“Wah, selamat ya, dari SMP mu hanya kamu yang lulus jalur reguler ini.”
Ani kegirangan, sudah tidak sempat mengucapkan terimakasih, sebelum akhirnya kembali lemas--besok tes kesehatan dan jasmani.
*“Ibu harus pulang, Nak. Kamu lanjutkanlah tesnya ya, biar om saja yang mengantar nasi abang.”
Ani melepas kepergian ibu. Sebelum maghrib tadi ayah menelfon, menyuruh ibu pulang saja, pulang malam ini, ayah sakit!
“Hati-hati, Bu.”
Travel biru muda itu melesat cepat, Anisegera bergegas, menutup kopernya, ia juga akan segera dijemput, untuk tinggal bersama abang sepupunya, Bang Mukhlis. Bang Mukhlis punya mobil untuk mengantarnya tes besok pagi. Karena sekolah asrama itu berada di pedalaman, jauh dari kota, setengah jam kira-kira. Kemarin-kemarin, ia menumpang pada mobil Winna, tapi sayang, Winna tidak lulus, Ani tidak bisa menumpang lagi.
Sesampainya disana, calon siswa sudah berbaris rapi, sedang mendengarkan pengarahan dari seorang bapak pendek dan berkumis tebal—Pak Sonok namanya.
“Siap, sedia, yakkkkkk.”
Ani berlari cepat, minimal tiga putaran untuk lulus. Mengerahkan segala tenaganya. Dia tidak suka olahraga, tak ada persiapan apapun! Hanya bermodalkan cinta. Diputaran kedua, nafasnya terengah-engah. Awalnya, larinya memang kilat, tapi akhirnya, kilat juga rasa lelahnya.
Lima menit lagi.
Ani tiba-tiba terkulai lemah, menutup mata, ia sungguh sudah tidak kuat lagi. Kepalanya pusing, darahnya naik ke atas—gelap—anemianya kambuh.
“Jangan tinggalin abang, jangan tinggalin abang.”
“Ani tidak akan pernah meninggalkan Abang. TIDAK AKAN PERNAH!”
“Janji?”
“Janji!”
Ani memang sudah tidak sanggup, tapi Tuhan sanggup! Ani mungkin tidak pernah sama sekali terpikir untuk bersekolah jauuh dari desanya, tapi Tuhan, Tuhan lah yang menginginkannya! Siang itu terik, panas membakar Pijoan, Ani masih memegangi kepalanya lima menit lagi. Janji itu, janji dari seorang anak desa yang masih polos memaknai hidup, Tuhan tidak akan pernah tega mengecewakannya, sungguh, tidak akan pernah mungkin. Dan benarlah, kekuatan itu seketika kembali. Ani berlari kencang—kilat. Menerobos semua lawan. Peluit panjang dibunyikan. Ani menjadi pelari kedua tercepat.
*“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Kak, sudah diliatin hasilnya.”
“Iya sayang, sama-sama.”
Ani tertawa girang, dia lulus! Dia bisa selalu disamping abangnya. Dia lulus!!
”Ibu??”
Ani kaget bukan kepalang saat ibunya tiba-tiba muncul dibelakangnya. Telfon genggam itu terjatuh. Dan lebih kaget lagi saat bang Nata menarik rambutnya. Berhamburan memeluknya.
“Haha, kenapa kau kaget jelek?”
Ani berteriak manja, memukul-mukul Bang Nata. Dia sangat bahagia. Sungguh, hari ini adalah kebahagiaan yang sempurna.
Warna-warni Persahabatan
“Ada tangis, ada tawa. Ada atas, ada bawah. Ada yang ditinggalkan, ada yang meninggalkan. Ada hitam, ada putih. Ahh, hidup itu penuh warna.”
“Lanjutkan Rania, jangan fikirkan masalah biaya. Biar kakak yang biayain semuanya dulu. Nanti kalo kamu sudah benar-benar lulus dan digaji, baru kamu ganti. Okeeeyyyy.”
“Dan kamu harus fokus untuk ground training itu, abang Nata bisa diurus keluarga disana dek. Kamu harus tetap semangat, buktikan kamu bisa membuat bangga keluarga kita, kamu harus mengangkat derajat orangtua dengan keberhasilanmu “
Aku tersenyum haru mendengar ucapan Kak Naya. Aku hampir saja mengundurkan diri karena tiga bulan training ini, tanpa digaji, alias biaya sendiri.Apalagi bang Nata sedang sakit dan butuh biaya yang tidak sedikit. Aku tidak kuasa memberi tau ayah dan ibu. Keuangan kami sedang merosot—benar-benar bengkak. Semua aset sudah terjual habis untuk biaya pengobatan abang. Belum lagi tiap bulannya ayah dan ibu harus memikirkan uang obat abang, hutang bank, hingga sekolah asrama Ani. Tapi Tuhan itu adil, selalu ada kemudahan sesudah kesulitan.
“Ingat yaa, ini masih masa training, kalian belum tentu lulus! Kalau ada satu pelajaran PUN yang gagal diujian, maka kalian tetap gagal. Paham?”
Kami menjawab paham serentak. Ternyata, masa-masa training ini adalah masa-masa yang sangat sulit. Pengawasannya sangat ketat. Baru beberapa hari saja, sudah empat orang yang mengundurkan diri. Kami satu angkatan 22 orang, karena empat orang mengundurkan diri, jadilah sisa kami delapan belas orang. Tidak ada yang tau pasti kenapa Lili, Rina, Shinta dan Ajeng mengundurkan diri. Ada yang bilang tidak sanggup, ada yang bilang disunting pria kaya. Macam-macam—beragam.
Karna memang jumlah kami yang terbilang sedikit, kami selalu saling membantu dalam perjuangan hingga bisa release menjadi seorang pramugari yang sebenarnya. Memang tidak mudah untuk melewati semuanya. Aku kira perjuangan mengikuti seleksi dari ratusan orang itu sudah cukup sulit, karna aku harus memberikan yang terbaik agar bisa menjadi yang terpilih. Namun ternyata masa-masa training inilah perjuangan yang sesungguhnya.
Kurang lebihtiga bulan kami mengikuti ground training di training center, ada beberapa materi yang harus kami pelajari, dan setiap materi yang telah selesai kami pelajari, maka akan ada ujian, yang hasilnya diberikan batas minimal. Jika nilai yang kami dapatkan tidak sesuai dengan standar minimal yang telah ditentukan, maka kami harus mengikuti ujian ulang, namun jika masih gagal, maka perjuangan kami harus sampai disitu saja.
“Sofie, Bella, Endita, besok kita ada ujian untuk materi Emergency Equipment, ayo kita belajar bersama, biar nggak ada yang ngulang.”
“Iya Rania, kita belajar dikamar ku saja ya?”
“Iya Bella.”
Kami memang begitu dekat, lebih dekat dari teman satu angkatan yang lain, aku dan Endita sekamar berdua, sementara Bella mengambil kamar untuk berdua bersama Sofie. Setiap berangkat ke training center yang berjarak tidak jauh dari tempat kos kami, kami selalu bersama, begitu juga saat pulang sore harinya.
Bella punya kekasih yang bernama Hendra, Hendra adalah sosok pria yang baik hati. Dia sering sekali mengajak aku, Endita, dan Sofie untuk hangout bersamanya dan Bella, dia tau pasti kami telah begitu lelah menjalani rutinitas training yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran kami.
“Baiklah Mbak-mbak semua, hari ini saya akan mengumumkan hasil dari ujian Emergency Equipment, dan bagi yang saya sebutkan namanya agar mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian kedua, karna mereka yang saya panggil adalah yang memiliki nilai dibawah rata-rata.”
“Merriana Devita,”
“Angela Natasya,”
“Kirana Dwinanta,”
“Syafira Martiolova.”
“Cukup, hanya empat orang yang gagal mendapat nilai diatas rata-rata pada ujian kali ini.”
Kami, empat belas siswa yang tidak mengulang, urung melompat girang demi melihat empat teman kami yang kecewa.
Ruang kelas yang dipenuhi teman satu angkatanku memang ramai jika siang hari, kami jarang sekali menghabiskan waktu istirahat diluar gedung, kami biasanya membawa bekal dan makan di pantry. Setelah beberapa menit menghabiskan waktu di pantry, kami pasti segera masuk kelas untuk bercerita dan tertawa bersama sekadar untuk menghilangkan lelah.
Teman satu angkatanku yang paling heboh dan selalu membuat kami tertawa adalah Sarah dan Yuliana. Mereka berdua sama lucunya, suka bercanda. Bercerita panjang lebar tentang tante gendut yang seminggu kemarin meminta foto bareng—Sarah dikira artis.
“Gue udaah capek nihh ngekos, Ran.”
“Iya nih, sama. Cepet-cepet aja deh nih training kelar. Terus kita semua bener-bener lulus dehhh.”
“Aamiin. Makan yukkkk?”
“Makan apaan??”
“Yaa, mie lah. Hahahahhahaha.”
Tawa menyelimuti kosanku dan Endita malam itu. Tiga bulan sudah, tak terasa dua kardus indomie habis dilahap. Aku rasa, wajah kami sudah tidak jauh beda dengan mie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H