Mohon tunggu...
Vita Puji Lestari
Vita Puji Lestari Mohon Tunggu... -

just an ordinary young girl

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Dandelion

31 Agustus 2012   01:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NARITA—, Aku segera menarik koperku yang cukup besar melewati pintu keluar. Bandara ini sangat megah, ini pertama kalinya aku melihat bandara semegah ini. Huft—udara cukup dingin disini, sedangkan aku tidak memakai sesuatu penghangat apapun. Menyedihkan. Yah, maklum saja karena ini kali pertama aku datang kemari.  Aku segera naik taksi dan memberikan alamat yang tertera pada secarik kertas yang diberikan dosenku. Aku tidak tahu aku mau dibawa kemana, karena dosenku yang pelit itu hanya menjawab “ nanti juga kau akan tahu” setiap kali aku bertanya. Taksi itu membawaku menyusuri  sudut – sudut kota  Jepang, kota yang sibuk tapi semuanya teratur dan tertata rapi, tidak seperti.........

“Ckiiiiiiiiiit.....” taksi itu berhenti di depan sebuah rumah tua,tua? atau memang aku yang tidak tahu model rumah disini yah? “ Entahlah itu tidak penting!” gumamku . “ Oh, sudah sampai yah, terimakasih Tuan!” kataku sambil menutup pintu taksi itu, aku berhenti sejenak menatap rumah itu. Yah karena rumah ini adalah rumah yang selama satu tahun kedepan  akan aku tinggali. Rumah tua dan aku. Haha—aku senyum – senyum sendiri seperti orang bodoh.

Huft...., aku saja masih bingung tentang alasanku datang ke Jepang. Dosenku hanya menyuruhku datang kemari, katanya aku akan belajar banyak. Apa yang akan aku pelajari di tempat ini, tempat ini sama sekali tidak terlihat seperti tempat belajar, seperti taman kanak – kanak saja tidak.

Aku memasuki pagar rumah ini, aku mencari – cari bel rumahnya, tetapi aku tidak menemukannya, akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri bagian depan rumah ini yang lumayan lebar. “ Arrgh!” keluhku, rumah ini benar – benar  membuatku putus asa, baru mencari bel saja sudah membuatku kesulitan, mencari bel seperti mencari jarum dalam jerami. Akhirnya aku berdiri saja di depan pintu rumah. Dingin dan kelaparan. Di sini memang tidak ada kaca tapi aku dapat membayangkan, mungkin saja wajahku saat ini sudah seperti gelandangan.

Akhirnya aku duduk di atas koperku, menunggu di depan pintu sambil menatap ke arah jalanan. Perjalanan selama di pesawat membuatku tidak bisa berdiri lebih lama lagi. “Kreeek!” tiba – tiba terdengar suara pintu terbuka, secepat kilat aku menolehkan kepalaku.

“Aaaaaaaaaaaa!!!!!” aku sangat kaget sampai aku terjatuh bersama koperku. Aku kira dia hantu penunggu rumah tua ini. Kakek tua berpakaian kuno berwarna putih, ikat kepala digulung yang juga berwarna puth, dan juga wajah bermasker putih.

“ Kariya-san?” tanyanya, hal ini melegakan karena ternyata dia bukan hantu, kelegaanku yang kedua adalah untung dia tidak mati jantungan karena teriakanku tadi. Aku sedikit kesal karena dia seenaknya mengganti namaku, namaku kan Kalya dari bahasa sanskerta yang artinya kesehatan, menurutku itu nama yang bagus meski aku tidak tahu mengapa harus “kesehatan”. Kembali ke topik tentang kakek tua itu, menyebut namaku dengan ejaan tidak tepat, hmmm...tak apalahmungkin kakek ini tidak punya cukup gigi untuk mengucapkan namaku dengan benar.“ Hai!” kataku sambil memberikan secarik kertas dengan tulisan agak aneh, mungkin tulisan jepang.

“ Hahahahahahahahahah!!!” kakek itu tertawa keras sekali. Astaga! Kataku sambil memegangi dada, untung saja reflekku buruk kalau tidak mungkin saja koperku yang besar ini sudah bersarang di mulutnya karena terkejut. Setelah ku pikir – pikir, dan setelah mendengar suara tawanya yang lebih menggelegar dari petir di hujan badai di pertengahan Desember di puncak gunung, aku pikir kakek ini orang yang lucu, atau mungkin lebih tepat kalau ku bilang dia—, aneh?

Kakek itu mempersilahkanku masuk, Begitu aku sampai di ruang tamunya, langkahku terhenti, tanpa sadar mulutku menganga. Ternyata rumah ini sangat menakjubkan, ruangan ini seperti kuil di Jepang, meski aku belum pernah melihat kuil di Jepang secara langsung tapi setidaknya ini mirip seperti yang kulihat di kartun, begitu.......klasik.

“Di sini hanya ada empat kamar, nanti akan ku tunjukan kamarmu yah, maaf kalau nanti kurang nyaman!” katanya membuyarkan lamunanku.” Hah! Hah ... apa...?” Aduuuuh dia pasti melihat wajahku anehku saat melamun tadi.

“Oh, iya , iya , tidak apa – apa, maaf yah telah merepotkan tuan, seharusnya aku berterimakasih, aku kan hanya menumpang, seandainya tuan menyuruhku tidur di kolong jembatan juga aku tidak masalah, masa tuan yang meminta maaf, hahaha” aku berhenti saat aku menyadari kalau aku tertawa besar sekali dan berbicara terlalu banyak, aduuh dasar memalukan! sambil memukul kepalaku dan satu pertanyaan yang tiba – tiba muncul di otakku, memangnya di Jepang ada yang tidur di kolong  jembatan??. Waaaaah, langkahku terhenti untuk yang kedua kalinya, bagaimana bisa ruang tengah di buat menyerupai taman di dalam ruangan, ya ampun arsitektur yang menakjubkan, karpet rumput hijau, meja dan bangku seperti di taman, wastafel dari batu, semuanyaaaaa, seperti di surga!

“ Ini kamarmu, silahkan!” katanya sambil menunjuk sebuah ruangan berdinding merah muda. Ruang tengah berbentuk taman ini di kelilingi oleh empat buah kamar, ada yang berwarna oranye, merah muda, putih, dan kuning. Unik sekali. Kakek ini membukakan pintu kamar untukku.

“ Ini kamar musim semi, sepertinya ini  cocok untuk wanita, semoga kau menyukainya yah, malam ini beristirahatlah dengan tenang, perjalanan dari Indonesia pasti cukup melelahkan.” Katanya padaku, sebelum kemudian ia bergegas pergi dan menutup pintu kamar ini.

“Ya, Tuhaaan!” gumamku. Kamar ini sungguh menakjubkan, benar benar bernuansa musim semi, dindingnya, lantainya, ornamennya semuannya, cantik dan alami, bunga bermekaran di mana – mana. “ Oh, apa itu....!!” mataku mengarah ke sebuah sudut meja, seperti meja rias, tapi bukan meja riasnya yang menarik perhatianku, tapi sesuatu di sebelahnya, apakah itu tiruan pohon sakura? Waaaah! Cantiknya, aku belum pernah melihat sakura mekar, apakah seperti  ini. Aku ingin segera musim semi dan melihat sakura mekar. Rasanya aku akan tidur nyenyak dan mimpi indah malam ini.

“ Huahhhhhmmmm...” aku meregangkan badanku, menggaruk – garuk kepala meski sebenarnya tidak terasa gatal, menghentakkan kepala ke kiri dan kanan, kemudian aku menoleh ke arah jam di kamar itu. Jam di kamar itu sangat besar dan cantik, seperti jam – jam di taman kota . “ Astaga!!!” gumamku tersentak, seketika lamunanku buyar ketika jarum jam itu kulihat sudah menunjuk pukul satu siang.

“ BRAAAKKK!” aku mebuka pintu dengan sedikit di banting karena aku hampir terjatuh karena kaget. Apa tidak ada siapa pun di sini, aku mencari ke sudut – sudut rumah. Tidak ada siapapun. Aduhhh, bagaimana ini?

“Kau sudah bangun?” suara kakek tua itu mengejutkanku dari belakang. “ oh, i..i..iya, maaf aku lelah sekali jadi aku agak telat bangun.hehe” kataku sambil menggaruk kepala diam sejenak melihat wajah tua tanpa ekspresi membuatku berfikir mungkin aku butuh jawaban yang lebih tepat. “ Sangat telat ma..maksudku” aku tersenyum hambar dan suara yang bahkan terdengar memalukan di telingaku sendiri, haha pasti aku terlihat bodoh dengan muka bangun tidurku ini. Sebenarnya sejak tadi aku mencari – cari toilet, tapi aku tidak menemukannya, kurasa desain rumah ini cukup rumit. Sangat. Terkadang aku berpikir. Apakah tidak sebaiknya kalau aku diberi peta?

“ Haha, tidak apa – apa, aku baru membangunkanmu sepuluh kali, mungkin kalau aku membangunkanmu sekali lagi, pintu kamarmu ini akan rusak, kan kasihan kalau pintuku sampai rusak, yah, tapi tak apa, mungkin saja kau sedang mengalami masa hibernasi atau semacamnya.” Kata kakek itu sambil menuangkanku ocha.

Kasihan pintunya? Hibernasi? Astaga kurasa sekarang aku punya julukan yang tepat untuk kakek tua ini. Menyebalkan.

“ Kakeeeeeeeeeeeeeeek!” seorang pria datang menerobos ruangan, tanpa salam atau pun semacamnya, melemparkan tasnya dan memeluk kakek itu, yahhh meskipun tasnya kecil, tapi tas bodoh itu hampir mengenai kepalaku dan aku yakin cukup untuk membuat kepalaku benjol tiga tingkat. Setelah beberapa detik berlalu pria itu menoleh ke arahku, kami pun berpandangan.

“Oh, perkenalkan, dia Kariya, murid temanku dari Indonesia, murid jenius yang menyelesaikan studi S1 arsiteknya hanya dalam waktu dua tahun.” gumam kakek pada cucu yang masih memeluknya itu. Tidakkah lebih baik kalau dia melepaskan pelukkannya itu, tolonglah ini bukan drama atu telenovela, kan?

“ Waaaaaah, hebat sekali, perkenalkan namaku Akira!” dia menundukkan kepala sebagai tanda penghormatannya. Aku pun menundukan kepalaku, “ Kalya” jawabku singkat. “ Apakah kau juga tinggal di sini?” tanyaku sambil meminum ocha yang dibuatkan kakek.

“ Ya....begitulah, mmm, tidak juga, mmm atau  mungkin untuk beberapa waktu.”jawab pria itu dengan sangat bersemangat, senyumnya cerah, oh tidak tidak bahkan terlalu cerah untuk langit musim dingin yang mendung ini. Beberapa waktu? Aku tidak mengerti maksudnya, tapi aku juga malas untuk menanyakannya.

“ Kira – kira, kapan kita bisa mulai pelajaran kita, kariya-san?” tannya kakek. “ Secepatnya, guru!” jawabku. “Baiklah, kalau begitu, besok pagi pukul delapan sudah bisa kita mulai, aku harap aku tidak harus merusak pintuku.” Jawabnya dingin sambil berlalu meninggalkan kami berdua. Kali ini aku benar – benar melihatnya. Kharisma keguruannya. Benar – benar mengerikan.

Aku melihat ke arah pria di depanku. Astaga dia memandangiku dan masih tersenyum seperti tadi, apakah otot- otot di wajahnya tidak kram tersenyum selama itu. Tapi sejujurnya pria ini sangat manis, rambutnya yang sedikit agak panjang kecoklatan, menambah manis wajahnya. Aku suka pria tinggi dan dia... sa—ngat tinggi.

“Jadi, tante, berapa lama kau akan belajar dengan kakekku?” tanyanya polos sambil menyandarkan dagunya di kedua lipatan tangannya, mendekatkan kepalanya ke arahku. Manis sekali. Tapi tunggu dulu, dia bilang tante?

“ TANTEEEE!! apa maksudmu bilang aku ini tante?” aku berbicara padanya dengan nada suara yang agak tinggi, seandainya aku bisa naik satu oktaf, mungkin aku bisa memecahkan gendang telinga anak nakal ini.            “ Memangnya kau tahu umurku?”

“ Tentu saja aku tahu, aku melihatnya di meja kakekku.” Masih tetap dengan senyuman satu juta voltnya. Catat: dia suka mengorek masalah orang. Huh! Patut diwaspadai.

“ Oh, haha. Bukankah itu tidak sopan, mmm...memangnya berapa tahun bedanya umur kita?” tanyaku dengan wajah tegas berwibawa yang ku buat – buat.

“ Tiga...”

“ Tiga tahun?” sela aku, aku tidak mampu menyembunyikan rasa penasaranku, meski dengan wajah berwibawa yang ku buat – buat.

“ Tiga hari.” Jawabnya sambil mengacungkan tiga jari yang terlihat sama menyebalkannya dengan dirinya. Huh! Ternyata dia mewarisi darah menyebalkan kakeknya.

“ APA?? Apa ini lelucon, hah, sudahlah aku malas bertengkar denganmu, karena saat ini aku butuh bantuanmu untuk menunjukan dimana toilet di rumah ini.” Jawabku malas.

“ Dengan senang hati.” Katanya sambil tersenyum. Dia pun mengantarku ke toilet.

“ Terimakasih yah sudah mengantarku—, bocah—.” Ucapku dengan penekanan pada kata bocah dan nada mengejek. Hahaha. Aku puas, aku melihatnya mengernyitkan dahi. Satu  kemenangan untukku.

Segar sekali setelah mandi, akhirnya ku dapat mendinginkan kepalaku. Aku punya masalah, aku mulai kedinginan dan aku tidak punya jaket tebal. Bagaimana ini? Apa aku sanggup bertahan tanpa jaket selama musim dingin. Oh, cepat tidur, aku tidak boleh telat besok pagi, atau aku harus tidur dengan pintu rusak meski sebenarnya aku agak ragu apa kakek itu punya cukup kekuatan untuk mendobrak pintu dan cukup uang untuk membetulkannya.hihihi.

Bodoh sekali, mana ada orang yang bahkan tidak bisa menemukan toilet. Aku jadi meragukannya, apakah dia sepandai yang dikatakan kakekku. Entahlah, dia mengobrol masih lengkap dengan piama, rambut yang acak – acakan, dan emosi yang meledak – ledak. Haha, hal buruk apalagi yang belum ku ketahui tentang dia. Tapi dia membuatku sangat tertarik, aku rasa dia memiliki sesuatu yang membuat dirinya terasa ... Berbeda.

Perjalanan tadi membuatku sangat lelah, aku ingin istirahat malam ini, karena pagi – pagi sekali aku akan pergi ke restoran paman. Untuk apalagi kalau bukan demi makanan gratis.

Nampaknya kakek menempatkan kamarnya di sebelah kamarku. Dia berisik sekali di kamar sebelah, apakah sebelum tidur dia harus menjalankan ritual  bergulung – gulung terlebih dahulu.

“ Hei, tante tidak bisakah kau lebih tenang sedikit.” kataku di depan pintunya. “ Ya, maaf ada apa, BRRUUKK!!!” Kalya keluar dari kamarnya, iya membuka pintu mendadak dan menabrakku, tepat di dalam pelukanku. Aku memeganginya, tentu saja supaya dia tidak terjatuh dan aku tidak mau melihat wajah bodohnya dan omelannya kalau – kalau dia menyalahkanku karena terjatuh.

“Huh! Rupanya kau, ada apa malam malam mengganggu orang!!” tanyanya sambil merapikan diri. “ MENGGANGGU??, bukankah yang mengganggu itu kau?” tanyaku sambil bersandar di pintu kamarnya. “AKU!!” Kalya berpindah ke arah pintu menatapku, wajah kesalnya tampak lucu. “ Yah, tentu saja, tidak bisakah seorang wanita dewasa yang jenius tidur dengan lebih beradab.” Jawabku dengan nada yang mengejek.

“ BERADAB! Apa yang kau maksud dengan beradab, Huh?” tanyanya sambil menunjuk ke hidungku, dia tampak kesal sekali. Mungkin saja kalau aku menaruh telur di kepalanya, telur itu akan matang.Haha.

“ Hey, tunggu dulu apa maksudmu menunjuk hidungku, apakah wanita cerdas— sepertimu perlu ku jelaskan arti dari kata ber-a-dab!” aku menunjuk ke hidungnya sama seperti yang ia lakukan padaku. “ Arrrghh!! DASAR ANAK KECIIIIIL! Kalya berhenti menunjukku dan berpindah memegangi pintu kamarnya.

“ PERGI SEKARANG ATAU KUJADIKAN KAU SEPERTI KERTAS PEMBUNGKUS  DENGAN SEKALI BANTING!!”  katanya dengan serius.        “  Ya.. ya.. aku akan pergi, kau ini benar – benar mengerikan!” kataku sambil berlalu ke kamarku. “ BRAAAKK!!!” suara pintu dibanting. Mungkin kakek perlu menyiapkan dana untuk reparasi pintu. Haha.

“ Aduuuh, di sebelahku  ada bayi, apa perlu kunyanyikan nina bobo sebelum tidur??” Kalya mengejekku dari kamar sebelah. “ Siapa yang kau panggil ba...?”. “ DIAAAAAAAAMM!!!!!!!!!” suara kakek menggelegar dari luar, kami pun diam.

“ Airnya dingin sekali, bagaimana ini, huh, apakah aku tidak akan mandi selama musim dingin. Meskipun ini air hangat, tetap saja.....” Kalya terus saja memandangi bak mandi di depannya. “ Hey, sampai kapan  kau mau di kamar mandi terus, apakah perlu ku ambilkan bantal, kau sudah diam di toilet selama hampir dua jam lima puluh sembilan menit tiga puluh detik!” ejekku sambil tertawa – tawa di depan pintu toilet. “Hah?? Apakah aku selama itu, ta....tapi kenapa kau tidak gunakan saja kamar mandi yang lain. Apakah kau tidak bisa sedetik saja tidak menggangguku, dasaaar bocah nakaaaal!” kataku, sepertinya dia sudah pergi. Baguslah.

Aku berjalan ke ruang kerja kakek, tapi aku tidak melihatnya. Aku mencari ke seluruh ruangan, tetapi tetap tidak bisa menemukannya. Tunggu dulu ada satu tempat yang belum ku kunjungi. Astaga—haruskan aku bertanya pada bocah nakal itu. Baiklah untuk kali ini saja.

Kalya mencoba mengetuk pintu kamar Akira dengan ragu. “ Apa kau rindu padaku?” suara Akira mengejutkanku, dia berdiri di belakangku, apa dia ingin membuat jantunggu meloncat dari tempatnya. “ Huuuh , kau ini, apa tidak bisa sehariiii saja tidak menggangguku!” kataku padanya. “ Tidak bisa.” Katanya padaku sambil tersenyum, senyum Akira yang munkin saja akan melelehkan wanita yang belum tau sifatnya yang menyebalkan. Aku berjalan meninggalkannya, percuma saja berbicara dengannya.

“ Apa kau pikir kakek akan mengajarkanmu di rumah ini.” Akira berbicara padaku, bagaimana bisa dia mengetahui apa yang aku pikirkan. Aku lansung berbalik cepat ke arah akira, menghampirinya dan bersikap manis. Terpaksa.

“ Akira, memangnya kakek ada dimana?” kataku dengan nada yang lembut dan manis. “ Apa aku harus memberi tahu orang yang membanting pintu di depan wajahku.” Katanya dengan wajah menyebalkan. Kalau aku tidak kasihan pada dosenku, aku pasti akan kabur dari rumah ini. “Soal semalam, aku hanya bercanda, apa kau tidak kasihan pada wanita lemah tidak berdaya yang kebingungan ini.” Aku bersumpah tidak akan melakukan ini lagi, ini memalukan.

“ Apa kau memohon? Oh kasihan sekali, kakek ada di taman kota, ta....” sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, aku langsung berlari ke tempat sepatu. Secepat kilat, tapi....Ya ampun—, turun salju, aku tidak mempunyai baju musim dingin kecuali jaket standar yang kupakai ini. Aku lupa kalau aku akan tinggal di negara dengan empat musim. Dingin sekali, badan ku pun gemetar, bahkan aku tak bisa mengikat tali sepatu ini dengan benar, padahal aku sedang dalam usaha pelarian diri. Huh! Tidak profesional.

“ BRUUKKK!!!” seseorang melemparkan jaket tebal ke atas kepalaku. “ Aku kira kau bisa mati membeku kalau keluar dengan pakaian seperti itu.” Seorang anak menyebalkan berbicara padaku, seperti biasa dia berbicara tanpa melihat ke arahku, dan bersandar pada pintu. Apa dia tidak punya pose lain.

“ Te...terimakasih.” jawabku lirih, suaraku kecil dan dengan nada terpaksa, sebenarnya aku berat mengatakannya, seperti ada gajah yang menahannya. Aku memakai jaket itu, dan kembali mengikat tali sepatuku, oh... aku benar – benar frustasi, tanganku bergetar hebat meski aku sudah memakai jaketnya. Aku melihat ke arah jam tangan, Arrrrgh waktunya sudah terlambat, aku sering mendengar rumor kalau orang Jepang itu sangat disiplin. Haduuuh !!! bagaimana ini?

“ Kau ini benar – benar bodoh, atau sengaja supaya aku mengikatkannya untukmu..” dia, Akira mengikat tali sepatuku?? Astaga!! Jantungku berdebar kencang, wajahku terasa panas, aku tidak mau mengucapkan terimakasih lagi. Ta...tapi sepatuku yang sebelah belum terpasang..astagaaa bagaimana ini?? Satu kata di otakku, lariiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!.

“ Huh!! Menyebalkan aku harus memakai sebelah lagi sepatuku di jalan, bagaimana ini—, aku masih tidak bisa memakainya, ah sudahlah aku ikatkan saja pada pergelangan kakiku, dari pada aku terjatuh tersandung tali sepatu.” Aku mengikatkannya sambil menunduk di pinggir jalan, ini menyebalkan tapi lebih baik daripada trlihat bodoh di depan anak kecil itu.

Lihat dia, aku belum pernah menemukan wanita semenarik itu, atau— lebih cocok kalu ku bilang bodoh?? Pertama, di pergi tanpa memakai sebelah sepatunya. Kedua, dia pergi tanpa membawa tasnya. Ketiga, memangnya dia tahu dimana tamannya, dia kan pertama kali ini datang ke Jepang. Dasar Bodoh.

Aku mengikutinya, dia bahkan memasang sepatunya di jalan, mengikatkan tali sepatunya pada pergelangan kakinya. Kreatif. Sampai kapan dia akan berjalan tanpa arah begini. Langkahnya mulai melambat, melambat, dan sepertinya dia mulai berfikir. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, matanya pun berhenti saat dia menatap ke arahku, kemudian mempercepat langkahnya.

Kemudian dia berhenti lagi, aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia mau aku mengembalikan tasnya dan mengantarnya ke taman. Enak saja! Haha. Aku berjalan melewatinya, mungkin dia sedang mencaci di dalam hatinya. Itu tergambar jelas di wajahnya. Aku sebenarnya mau mengerjainya lagi, tapi kakek tidak akan mau menunggu lama di taman.

“ Kau datang kesini juga, ada apa?? Haha.. bukankah ka...” kakek berkata padaku saat melihatku datang  ke taman ini. “Ah, tidak apa – apa!” kataku tergesa – gesa, aku takut kakek bicara terlalu banyak. “ kenapa kau membawa tas perempuan? Kakek menunjuk ke arah tas yang aku bawa. “O..Oh.. ini, mm.. tadi i..itu.. oh ... Kalya meminta tolong memegangi tasnya sebentar karena dia ada urusan. Hehe.”

“ Maaf terlambat!” Kalya membungkukkan badannnya ke arah kakek, dan langsung melihat ke arahku, dan tanpa basa basi langsung merenggut tasnya dariku.  “ Bagaimana kalau kita langsung saja mulai pelajaran kita  hari ini, Guru.” Kata gadis itu pada guruku, dia segera mengeluarkan perlengkapannya untuk belajar. Huh, memangnya kakekku membutuhkan itu.

“ Kau sudah lulus pendidikan sarjanamu kan?” tanya kakek pada gadis yang sibuk mengeluarkan barang – barang dari tasnya itu, pantas saja tasnya benar – benar berat, mungkin kalau masih muat dia akan membawa semua yang dia punya. “ Ya, tentu saja, Guru!” jawabnya sedikit tersentak dari kesibukannya tadi. “ Nilaimu selama kuliah tinggi kan?” tanya kakek. “ i..iya.” jawabnya ragu, mungkin pertanyaan kakek terdengar aneh baginya,

“ Kau pasti sudah mengetahui dengan sangat paham apa saja yang di butuhkan seorang arsitek, sekarang aku hanya akan memberikan penyempurna bagimu, jadi kau tidak perlu repot – repot mengeluarkan peralatanmu yang sangat banyak itu.” Kata kakek, tanpa memandang ke arah gadis itu, dan Kalya nampaknya bingung dengan apa yang di katakan kakek.

“ Oh.. baik, guru.’ Iya memasukan kembali peralatannya ke dalam tas. “ Mari kita mengobrol sebentar, Kariya... apa yang akan kau pikikan jika aku memberimu sebuah titik di atas sebuah kertas putih?” tanya kakek. “ A.. apa, titik..?” sepertinya gadis itu kebingungan, meski aku bermain main di pinggir kolam, tapi aku bisa membayangkan kalau wajahnya pasti terlihat bodoh.

Aku ingat saat dulu kakek mengajariku, aku dulu berfikir kalau pelajarannya sangat aneh. Tapi sekarang aku tahu kalau itu sangat berguna. Aku selalu menyukai caranya mengajar, meski terkadang ia sangat disiplin. Tapi caranya membuka pikiranku, membuatku menyadari banyak hal. Bahwa segala sesuatu tidak selalu terlihat seperti adanya, tapi tergantung bagaimana kita memandangnya.

“ Titik yah?? .. titik adalah... mmm.... adalah... sebuah...,mmm... apa maksudnya yah?” haduh pertanyaan macam apa ini. “ Apa aku harus mengulang pertanyaanku!” jawab kakek agak sedikit membentak. “ Oh.. ti..tidak..tidak usah,hehe.” Aduh , ayolah pikirkan jawabannyaaaaa. “ Titik adalah pemisah antara dua kalimat.. titik a..” “ Cukupp!!! Sepertinya kau belum siap untuk belajar hari ini. Pelajaran hari ini selesai, kita lanjutkan besok, Huh, aku heran kenapa kau bisa lulus dari sekolahmu.”

Aku terus diam terpaku, melihat kakek guru berjalan begitu saja meninggalkanku, apa – apaan ini? Aku bahkan merasa kalau kita belum belajar sesuatu apapun.Aduuuuh sial sekali aku.

” Apa begitu caramu menilai seseorang?” Akira datang ke arahku dan tiba – tiba saja berkata seperti itu. Ku mohooon, aku sedang tidak ingin bertengkar. “ Jika orang mengatakan ‘a’ maka kau juga akan mengatakan ‘a’!” aku semakin bingung dengan yang akira katakan, apakah kita sekarang sedang belajar membaca? “ Seandainya kau berkata ‘sebuah titik di atas kertas putih itu bagaikan sebuah jerawat yang menjengkelkan di atas wajahmu’, pasti kakek tidak akan meninggalkanmu seperti ini, belajarlah memandang sesuatu dengan cara yang berbeda.” Aku masih mencoba memahami kata kata Akira.

“ Sebuah titik diatas kertas putih itu bagaikan, kapal kecil di tengah samudra yang luas, bagaikan bintang kecil di tengah gelap malam, bagaikan musafir yang tersesat di tengah padang gurun, bagaikan semut di rerumputan, dan masih banyak lagi, terkadang kita sering melupakan hal – hal kecil bukan, padahal terkadang hal kecil itulah yang menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Kakekku ingin kau memikirkan hal – hal kecil seperti itu, memanfaatkan kesempatan sekecil apapun, karena sesuatu yang besar itu berawal dari hal – hal kecil.” Ya Tuhan!  kata – kata Akira benar – benar menakjubkan, sejenak tadi aku merasa kalau aku jatuh cinta padanya. Ternyata selain sikap yang menyebalkan, kecerdasan kakeknya ini juga menurun kepadanya.

Akira pergi berlalu begitu saja, sebaiknya aku mengikutinya. Dia beItu tinggi dan tampan dari belakang, tapi begitu dia berbicara dia akan membuatku kesal. Ngomong – ngomong, mau pergi kemana yah dia? Huh, apakah aku akan mengikutinya terus seperti anak kucing. “ BRUKK!!!” Akira berhenti tiba tiba, aku pun menabrak punggungnya, kemudian dia berbalik ke arahku, “ Apa kau mau mengikutiku terus!” tanyanya kesal.

“ Bu...bu...kan begitu, tapi aku tidak tahu jalan pulang, apa kau tega membiarkan tante – tante ini tersesat sendirian di tengah badai salju, kedinginan dan kelaparan, da...” “ Cukup, sepertinya kau pandai merayu, baiklah kali ini ikut aku, dan kau jangan berjalan di belakangku,mmm... berjalanlah di sebelahku, aku tidak suka di ikuti.”

Ya ampun, seandainya dia tidak menyebalkan, aku pasti akan jatuh cinta padanya, dia ini sangat sopan dan perhatian.haha. “KRIUUUKK!!” ups suara perutku berbunyi. Memalukan. “ Kau, lapar. Haaah merepotkan saja, terpaksa aku mentraktirmu, aku tahu tempat yang enak, ayo ikut aku, sini cepat! Berjalanlah di sebelahku!”

Sebenarnya aku senag saat dia mengikutiku, rasanya seperti selebriti.haha. Rasanya tidak enak kalau aku tidak membuatnya kesal, tapi kasihan sekali dia kelaparan. Melihatnya berjalan di sebelahku, mmm.....rasanya seperti pasangan saja.

“Sreekk....Sreeekkk....sreeeekkk....” Dia berjalan berisik sekali , apa dia bahkan tidak punya cukup tenaga untuk melangkah. Sayang sekali tidak ada kendaraan yang bisa masuk ke restoran milik paman karena tempatnya yang terpencil.”....” Tunggu dulu, kemana suara langkah kaki menyebalkan itu. Sejenak lamunanku berhenti dan aku pun menoleh kebelakang.

APAAAA!!! Pemandangan aneh apa ini, dia berjongkok di tengah jalan. Apa tidak ada lagi hal yang lebih memalukan yang bisa dia lakukan, kenapa tidak sekalian berbaring saja di jalanan. Aku  bergegas menghampirinya yang sedang menunduk.

“HEI, tante, aa...app..appa yang kau lakukaaan!” Panggilku tanpa menoleh ke arahnya, aku memerhatikan sekeliling khawatir ada yang melihat. “apa tidak cukup melakukan hal bodoh di depanku saja, kenapa harus di muka umum, apa....” belum selesai aku mengomelinya perkataanku terpotong. “ada apa?” suaranya terdengar sangat lelah. “mm..mmm..ayo jalan, tokonya sebentar lagi, apa aku perlu menyeretmu!” sebenarnya  aku tidak tega melihatnya tapi aku lebih tidak tega jika aku harus malu karena menolong dia...hihihih.

ARRRGGHHH, menyebalkan sekali berjalan di belakangnya, siput saja mungkin akan lebih cepat darinya. Aku terus memandanginya dari belakang , hmmm, dia kecil sekali, kupikir dia, lumayan lucu...  Mmmm, tunggu dulu, “SREK!” aku mengambil tas dari lengannya, dia nampak terkejut dan sempat menahan tasnya, tapi tenagaku lebih kuat darinya dan dia pun melepaskannya, ‘apa kau tahu tante, tasmu ini  berat sekali’, kataku dalam hati.

Kami tiba di depan toko aku memberi salam pada sepupuku, seperti biasa dia selalu membantu ayahnya memasak di kedai. “yusuke!” sapaku sambil mengangkat tanganku yang sedang membawa tas tante ini. Yusuke meletakkan pisau rajangnya mengelap tangannya ke celemek yang ia pakai kemudian melepaskannya. Dia memang sangat keren, bahkan dengan celemek bodoh itu dia masih saja keren. Oh ya ampun, aku lupa si tante ini. Aku pun menoleh ke arah tante, “BRAAAKKKKKK!!!!!” “Aduuuuuuuuhhhh” teriak si tante ini, aku menjatuhkan tas itu ke kakinya, aku kesal apakah dia harus terpesona melihat tukang masak ramen itu, sepertinya laparnya benar – benar hilang.

bersambung......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun