Mau tidak mau saya pun tidur beralas tikar plastik dan beralas papan dalam ruang yang pengap dan tanpa penerangan. Di samping ranjang saya ada tumpukan semen, sementara di ruang yang sama masih ada karung-karung beras, kopra, dan lain-lain. Penuh sesak dijejali segala macam barang. Sementara tikus-tikus bermain dan berkejaran.
Ketika musim gelombang tinggi, saya memutuskan untuk menyewa kamar ABK. Saya ingin tidur sedikit nyaman karena saya tidak berkawan baik dengan ombak yang mengombang-ambingkan kapal. Dalam kamar itu terdapat dua ranjang kayu tingkat yang sempit. Saya menyewa dari salah satu ABK kenalan baik saya. Saya tidur di ranjang bawah, sementara ABK tidur di ranjang atas dan ranjang satu lagi. Oleh ABK kenalan saya, pada sisi ranjang dipasang kain pelindung yang diikat pada ujung ranjang.
Kesengsaraan ini belum berakhir. Ketika kapal akan merapat ke dermaga dan pada saat itu sudah banyak kapal lain yang lebih dahulu bersandar di dermaga, maka kapal berikutnya akan merapat di samping kapal yang sudah merapat. Penumpang yang akan turun ke pelabuhan harus meloncat antarkapal. Keterampilan melompat inipun wajib dimiliki oleh penumpang.
Suatu saat, ketika saya akan naik kapal perintis di Pulau Karatung, ombak sangat tinggi. Meskipun kapal sudah merapat di dermaga, badan kapal terombang-ambing oleh ombak. Pintu keluar masuk penumpang ditutup karena akan berbahaya bila penumpang naik lewat situ. Penghubung antara bibir dermaga dan pintu adalah bilah papan. Dengan keadaan yang demikian maka penumpang naik dari lambung kapal. Meskipun di situ ada tangga menggantung, tapi tak dapat dipakai. Tak masalah penumpang laki-laki bisa naik melalui lambung. Bagaimana dengan penumpang perempuan termasuk saya? Kami harus dijunjung dari bawah dan ditarik ke atas oleh penumpang lainnya.
Lain lagi kisah ketika kami berlabuh di Pulau Kakorotan yang rute kapalnya memang merapat di pulau ini, tetangga Pulau Marampit. Tengah malam kapal tiba di Pulau Kakorotan dan air laut sedang surut sehingga kapal berlabuh di tengah laut. Penumpang turun melalui tangga besi di lambung kapal dan di bawahnya sudah menanti perahu tradisional bermesin yang akan membawa kami ke darat.
Bagi saya pengalama perjalanan melalui laut ke Sangir lebih mudah dan tidak mempunyai pengalaman khusus, kecuali satu cerita di bawah ini. Hari sudah sore dan cuaca mendung tanda sebentar lagi akan hujan. Saat itu saya masih berada di pelabuhan Petta, sedangkan kapal yang biasa melayani pelabuhan ini ke Pulau Nipa sudah berangkat ke pulau sejak tadi.
Hanya papan saya yang patah, lainnya tidak. Sampai di pulau, hujan sedikit reda dan ketika akan turun dari perahu, saya kesulitan. Terasa sangat sakit dan saya harus dipapah. Hampir tiga minggu saya rasakan dan sangat sulit saat akan duduk atau berdiri.
Di lain hari ketika saya naik pamo (sebutan untuk perahu yang badannya agak lebar di Sangir), di tengah perjalanan antara Pulau Nipa dan pelabuhan Petta. Air laut begitu tenangnya. Pemandangan yang sangat jarang dapat saya saksikan, yaitu lumba-lumba yang muncul melompat ke permukaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H