Sekitar Oktober 2011 saya diberi kabar oleh atasan bahwa saya akan bertugas di Pulau Nipa di Kabupaten Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Pulau Sulawesi sudah tidak asing bagi saya, sebab saya pernah tinggal di Soroako, Sulawesi selatan selama hampir 20 tahun. Namun, saya belum pernah ke Sulawesi Utara. Kali ini saya akan bertugas di Pulau Nipa -- nama pulau yang sama sekali tidak terkenal dan tidak pernah saya dengar sebelumnya.
Perjalanan melalui udara dari Jakarta ke Manado berlangsung lancar. Dari Manado ke Pulau Nipa, perjalanan dengan kapal jenis angkutan barang (material bangunan) dilalui kurang lebih hampir 2 hari. Kadang ditemani ombak yang mengayun kapal, kadang laut begitu teduh. Tak jarang kami melewati pulau-pulau besar dan kecil.
Hari menjelang siang. Saya berdiri di dek kapal. Tampak di kejauhan dua pulau agak besar yang saling bersebelahan, Pulau Nipa dan Pulau Bukide Akhirnya kapten kapal memberitahu bahwa kami sudah tiba di Pulau Nipa. Kapal belum bisa bersandar mendekati pulau sehingga saya dan seorang kawan dijemput di tengah laut dengan perahu kecil milik kecamatan. Saya harus turun dengan tangga besi melalui dinding kapal sebagai pengalaman pertama melakukan hal ini.
Selain hari-hari disibukkan dengan tugas yang lumayan berat, bekerja sama dengan site manager, mandor dan pekerja-pekerja yang sebagian besar kaum lelaki, namun tidak ada kendala. Di waktu senggang saya banyak bergaul dengan penduduk di lindongan (semacam rukun tetangga) di mana saya tinggal. Penduduk lokal menerima saya dengan ramah dan saya pun belajar sedikit-sedikit bahasa Sangir.
Nipa, adalah ibukota kecamatan Nusa Tabukan di mana saya tinggal. Ada satu puskesmas pembantu dengan satu dokter dan beberapa perawat. Inilah satu-satunya puskesmas yang terletak di ibukota kecamatan. Bila ada pasien dari desa lain atau Pulau Bukide, ke puskesmas inilah pasien dibawa dengan perahu. Kegiatan tenaga medis adalah jadwal posyandu ke desa-desa di wilayah kecamatan ini dengan perahu puskesmas.
Ada satu masjid dan satu gereja. Penduduk hidup rukun dan damai. Pada pesta-pesta kecil maupun besar, selalu disediakan dua macam makanan,halal dan non halal. Beberapa penduduk merupakan orang-orang Filipina yang berbaur dengan penduduk setempat. Sudah menjadi hal jamak, minuman botol dan kue-kue berasal dari negeri tetangga yang letaknya tak jauh dari Kepulauan Sangir. Umumnya mereka menyuguhkan di saat natal. Tahun baru pun dilewatkan dengan begadang dan mercon. Kami yang tinggal di pulau dapat melihat pancaran cahaya warna-warni dari mercon di Naha yang letaknya di pulau besar.
Di lain hari, saya bersama rekan kantor ditemani anak laki pemilik rumah, menyusuri jalan setapak ke desa Mohonge sampai Dalaweng. Lain hari kami berbalik arah menyusuri jalan setapak agak mendaki, melewati sungai, dan menuruni tebing lalu menyusuri pantai ke desa Kelumang, Salise, sampai Nane.
Dalam perjalanan, saya ditunjukkan pohon pala. Ups, baru kali ini saya tahu bahwa inilah bentuk buah pala. Sulawesi Utara terkenal sebagai daerah penghasil buah pala. Oleh anak laki-laki yang menemani kami, saya juga ditunjukkan pohon gedi yang daunnya dibuat sayur. Sayur daun gedi ini akhirnya menjadi sayur kesukaan saya. Meskipun bumbunya sederhana, yaitu bawang merag iris, cabai rawit iris dan santan kental. Ketika dimasak, daun gedi ini mengeluarkan lendir. Ketika saya akan kembali ke Jakarta, saya sampai minta batang pohon gedi untuk ditanam di Jawa. Tanaman ini hanya ada di Sulawesi. Batang dan daunnya mirip ubi kayu.
Di tengah jalan, kami bertemu seorang anak Sekolah Dasar yang pulang sekolah. Rekan saya bertanya, "Apa cita-citamu?" Anak itu menjawab, "Mengail". Mengail di sini artinya nelayan. Ah, betapa sederhana cita-citanya. Di Desa Nane ini tinggal seorang pengajar muda dari program Indonesia Mengajar. Saya pernah berbincang sejenak ketika bertemu dengannya di Petta, pelabuhan yang berada di daratan Pulau Sangihe.
Oleh pemilik rumah yang saya tinggali -- dia seorang pegawai negeri yang bertindak sebagai pengemudi perahu camat. Saya dan rekan kantor diajak berperahu ke Tinakareng karena hanya transportasi laut ini yang bisa dilalui, Di sana tinggal pasukan 712, yaitu tentara yang menjaga di perbatasan wilayah tanah air.
Tak jarang kami diajak menyeberang ke Pulau Bukide pada Sabtu atau Minggu sore untuk menyaksikan pertandingan sepakbola antarkampung. Suasana ramai dan meriah. Tak lupa tiap menyeberang dengan perahu, semua akan membungkus telepon seluler dengan kantong plastik. Penduduk pulau menyeberang ke Petta tiap hari pasar, yaitu Selasa, Kamis dan Sabtu untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang berbelanja di pasar dan toko-toko sederhana di Tahuna, sekitar 30-45 menit perjalanan dengan bentor (semacam becak bermotor) atau angkutan umum yang terminalnya terletak tak jauh dari pasar Petta.