Kini aku disalahkan lagi oleh rindu. Rindu yang kutitipkan untuknya hanya melalui tadahan tanganku. Aku tak berani mengatakan, bahkan semua yang aku lakukan hanya aku kemas sesederhana mungkin hingga tidak terbentuk cinta. Rasaku berbenturan oleh kenyataan. Sesungguhnya aku pandai menyimpan tangis dengan tawa, bukan mengumpat dibalik rasa sayang menjadi biasa saja. Semua semakin terlihat nyata, ketika aku melihatnya dengan yang lain aku cemburu. Mengapa harus ada rindu dan cemburu? jika aku tak bisa memiliki apa yang aku rindu dan cemburukan? Buatku, bertahan diperasaan seperti ini bukan hal yang mudah. Ketika ingin memperhatikan tetapi harus memutar topik hingga tidak begitu terlihat jelas.
Menyayangimu sungguh penuh dengan kehati-hatian. Sebenarnya aku ingin sekali jadi penyebab senyuman itu. Tapi tidak mungkin  rasanya. Tahukah kamu, kamu yang sering aku rindukan dengan sedikit pipi basah, dengan senyum yang tertahan. Andai ada keajaiban, aku ingin sekali kamu bisa tahu, bisa sekedar mengerti. Bahwa menyayangimu butuh tenaga dan hati yang extra kuat. Aku tak paham mengapa harus kamu orangnya? Mengapa harus kamu yang aku perjuangkan secara diam-diam? Aku tahu pasti ini hasilnya nihil. Seandainya mengatakan kata sayang semudah mengucapkan kata hey. Pasti sudah aku lakukan sejak dulu. Sejak perasaanku tumbuh tak beraturan.
Untuk kamu yang aku maksud, semoga harimu selalu dipenuhi canda  tawa. Semoga kamu bisa mendapatkan perempuan yang tidak pengecut sepertiku.
Aku yang tidak pernah terlihat dikedua mata itu. Aku yang mempunyai rindu seluas rindumu untuknya. Aku yang selalu punya alasan untuk mengeluarkan air mata. Dan lagi-lagi itu kamu penyebabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H