[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="illustrasi/cinacellulari"][/caption] Saya menatap smartphone saya, memandang penasaran tulisan yang akan muncul di layar whatsapp nya. “Criiing… Beberapa patah katapun muncul di layar smartphone saya, ternyata dya tidak berubah sedikitpun dari seperti yang saya kenal 2 tahun lalu, masih dengan pandainya kata demi kata yang dya kirim mampu membuat saya tersenyum kecil. Masih ingat 2 tahun lalu saat tak sengaja saya masuk ke kehidupannya. Percakapan singkat di social media buatan pria muda asal Amerika menjadi awal kami bertemu kembali setelah sempat terpisah karena kesibukkan sekolah masing-masing. Percakapan itupun berlanjut pada pertemuan rutin kita lengkap dengan 2 cangkir kopi yang saling bercengkrama dalam 1 meja di sebuah waralaba yang sekarang sedang menjamur di ibukota. Berat kepala yang sempat tak sengaja bersandar di bahu saya berhasil menceritakan betapa berantakan kondisi hatinya saat itu setelah pertengkaran hebat dengan mantan kekasihnya. Angin malam dan hujan yang sedikit enggan jatuh ke bumi makin menampakkan raut wajahnya yang butuh akan “kuping” yang mau mendengarkan ceritanya. Sayapun mulai malam itu rajin menjadi “kuping” yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, tanpa berfikir suatu saat hati saya akan jatuh tepat di depan hatinya. Tapi ternyata saya salah, seiring waktu berlari hati saya makin jatuh, bahkan sejatuh-jatuhnya. Sayapun mulai egois, berharap terlalu tinggi tanpa membayangkan akan seperti apa jadinya hati saya jika jatuh dari tingginya harapan saya. Menara kesabaran saya seakan hancur ditabrak waktu yang terus berlari tanpa kepastian antara saya dengannya. Dan dengan bodohnya saya mundur ketika pintu hatinya mulai sedikit terbuka. “Criiing… Suara smartphone mengembalikan saya dari perjalanan singkat ke nostalgia lama. “Jadi ketemuan ga?” “Jadi…” jawabku singkat “Kemana?” “Mempertemukan kembali 2 cangkir kopi kita dalam 1 meja” Imajinasi sayapun langsung menari-nari di kepala saya. Membayangkan akhir pekan disaat raga dan hati menjadi sedikit lebih dingin dari biasanya, 2 cangkir kopi kami yang kembali bercengkrama dalam 1 meja akan menghangatkan semuanya. “Owh, okeh.. jemput yah..” “Jangankan jemput ke rumah, jemput ke pelaminan juga ayo” “Keluar deh gombalnya..huuuu….” Senyum saya mengembang sempurna seakan mengamini kalimat yang pernah dya ucapkan kepada saya waktu itu “Kamu emang pintar yah bermain kata, tapi sayang ga pintar bermain hati”. Kalimat itu yang sampai saat ini memang terbukti kebenarannya padaku dan mungkin akan selamanya seperti itu. Karena menurutku hati memang tak sepantasnya dipermainkan layaknya kata-kata yang kadang mampu memutarbalikkan fakta. *** Banjir, 20 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H