Puisi adalah karya sastra ungkapan perasaan penulis yang menggunakan kata-kata indah yang penuh makna. Puisi diharapkan mampu menggambarkan hubungan antara manusia dengan diri sendiri, hubungan antara manusia dengan manusia, maupun hubungan antara manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, sangat penting bila suatu karya sastra puisi mengandung nilai moral, sosial, dan agama.
Hal inilah yang terdapat pada antalogi puisi Aku berada kembali karya Chairil Anwar. Didalam puisi tersebut, mengeksplorasi tema identitas dan perubahan. Puisi "Aku berada Kembali" secara lengkap adalah sebagai berikut
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan 'ku punya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh.
Dalam kurun tujuh tahun masa menulis puisi (1942--1949), Chairil Anwar menulis banyak puisi murung. Puisi paling awal adalah puisi murung tentang kematian neneknya, "Nisan"; puisi paling akhir, "Aku Berada Kembali", juga puisi murung. Menarik, misalnya, khususnya enam puisi yang ditulis Chairil Anwar di tahun terakhir 1949 hidupnya. puisi terakhir yang ditulis sebelum penyair wafat.
Dalam puisi "Aku Berada Kembali", Chairil Anwar menggambarkan pengalaman subjektif seseorang yang merasa asing di tempat yang dulunya dikenalnya. Dia melihat banyak perubahan di sekitarnya, seperti air yang mengalir dengan warna yang berubah, kapal-kapal, elang-elang, dan mega yang tersandar pada khatulistiwa yang berbeda.
Penggunaan bahasa metaforis dalam baris "rasa laut telah berubah dan 'ku punya wajah/juga disinari matari/lain" menunjukkan perubahan dalam diri sendiri, baik secara fisik maupun emosional.
Konsep kelengangan menjadi tema sentral dalam puisi ini, diwakili oleh baris "Hanya/Kelengangan tinggal tetap saja". Penulis merenungkan kelengangan di antara masa lalu dan masa kini, di antara harapan dan realitas yang ada.
Puisi ini menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan pertimbangan dan gelisah, yang tercermin dalam baris terakhir, "Telinga kiri masih terpaling/ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh." Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kebingungan dan ketidakpastian, penulis masih mencoba untuk mendengarkan dan memahami perubahan yang terjadi di sekitarnya.