Mohon tunggu...
Visca
Visca Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan arsitektur Universitas Indonesia, yang walaupun sudah tak berprofesi arsitek, tetap selalu suka menikmati segala bentuk arsitektur. Pernah tinggal di Maroko, Belanda, Thailand, dan tentunya Indonesia.

Traveler. Baker. Crafter.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisah Ironis dari Para Perempuan Leher Panjang Suku Kayan

6 Maret 2020   12:59 Diperbarui: 7 Maret 2020   20:11 7703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Thailand sebagai salah satu destinasi wisata dunia memang memiliki berbagai tempat menarik untuk dikunjungi. Salah satu tempat yang banyak mendapat kunjungan wisatawan adalah kampung suku Kayan Lahwi.

Suku Kayan terkenal karena keunikannya, di mana perempuan suku ini memiliki leher yang panjang, dan lehernya diberi "cincin" bertumpuk-tumpuk.

Suku ini sebetulnya berasal dari Myanmar. Namun ketika terjadi perang saudara antara suku ini dengan pemerintah Myanmar. Banyak dari mereka yang melarikan diri ke Thailand. Karena Myanmar berbatasan dengan utara Thailand, maka suku-suku ini banyak ditemukan di daerah tersebut, diantaranya Chiang Mai, Mae Hong Son, dan Chiang Rai.

Saat berkunjung ke Chiang Mai, saya berkesempatan mengunjungi salah satu perkampungan suku ini. Lokasi yang saya kunjungi adalah Baan Tong Luang. Di sini kita dapat melihat cara hidup mereka sehari-hari.

Di dalam kampung ini selain suku Kayan, juga terdapat suku-suku lainnya, seperti suku Hmong, Lahu, Karen Putih, Yao, Akha, Kayaw dan Palong. Namun yang paling terkenal adalah suku Kayan.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri
Saya menjumpai beberapa perempuan suku Kayan yang memakai cincin leher. Sekilas bentuknya memang seperti cincin, tapi ternyata "cincin" tersebut dibentuk dari logam yang dibuat seperti tali panjang, yang pemakaiannya dililit di leher mereka. Logam yang digunakan adalah kuningan atau campuran emas.

Lilitan ini pertama kali dipakai oleh anak perempuan pada saat mereka berusia 5 atau 6 tahun. Tanggal pemakaiannya, harus diputuskan oleh Tetua kampung. Pemakaian pertama kali biasanya terdiri atas 5 tumpuk lilitan dan beratnya sekitar 1.5 Kg.

Setiap 2 tahun sekali, lilitan ini ditambah 2 tumpuk. Tidak ada jumlah maksimal yang pasti, tetapi jumlah tumpukan bisa mencapai 25 dengan berat bisa mencapi 10 Kg. Untuk pemakaian pertama, cincin akan dialasi dengan bantal kecil untuk mengurangi rasa sakit. Bantal ini dilepaskan keesokan harinya.

Walaupun sepertinya dengan pemakaian lilitan tersebut membuat leher panjang, ternyata kenyataannya tidak demikian. Berat lilitan yang dipakai mendorong tulang selangka ke bawah sehingga leher terlihat lebih Panjang. Hal ini dapat dilihat dari hasil X-ray struktur tulang perempuan yang memakai cincin leher tersebut.

Gambar kiri memperlihatkan tulang selangka yang turun dari posisi semula. Gambar kanan memperlihatkan posisi tulang selangka normal
Gambar kiri memperlihatkan tulang selangka yang turun dari posisi semula. Gambar kanan memperlihatkan posisi tulang selangka normal

Cincin leher tersebut dipakai setiap saat dan hanya dilepas pada saat akan dibersihkan, yang biasanya dilakukan setiap 3 tahun sekali.

Dapat dibayangkan ketidaknyamanan yang diakibatkan dari pemakaian cincin tersebut. Tidak dapat menundukan kepala, membuat mereka harus minum dari sedotan. Logam yang dipakai akan terasa panas bila cuaca sedang panas, dan hal ini dapat menyebabkan radang pada kulit.

Selain tidak nyaman, pemakaian ini juga membahayakan kesehatan mereka. Rasa sakit akibat pemakaian cincin tersebut membuat mereka banyak yang mengunyah buah pinang, yang dipercaya dapat mengurangi rasa sakit. Padahal buah ini mempunyai sifat adiktif.

Selain itu pemakaian cincin, membuat otot leher mengalami atrofi (otot mengalami penurunan fungsi dan massa) sehingga menjadi lemah. Dan seperti kita lihat dari hasil X-ray di atas, pemakaian cincin itu juga menyebabkan terjadinya deformasi tulang. Juga pemakaian cincin tersebut berdampak pada pita suara mereka, dimana suara menjadi lebih dalam dan "bergema".

Melihat dampak yang ditimbulkannya, timbul pertanyaan mengapa mereka melakukannya. Penyebab awal pemakaian cincin di leher ini mempunyai beberapa teori. Untuk melindungi dari serangan macan salah satunya. Ada juga yang berteori, pemakaian cincin ini untuk melindungi perempuan suku ini dari praktek jual-beli budak, karena pemakainya akan dianggap kurang menarik.

Tetapi juga ada teori yang sebaliknya, bahwa pemakaian cincin ini berhubungan dengan kecantikan perempuan. Dan mengapa mereka masih melakukannya di zaman sekarang? ini adalah pertanyaan yang jawabannya akan menyentuh rasa kemanusiaan kita. 

Para suku Kayan yang lari dari Myanmar akibat perang pada tahun 1949, diterima oleh pemerintah Thailand dengan status sebagai pengungsi. Pada tahun-tahun berikutnya, aliran suku ini ke Thailand tetap berlangsung, dikarenakan berbagai sebab, seperti situasi politik yang tidak menentu, yang ujung-ujungnya juga berakibat pada aspek sosial dan ekonomi.

Kondisi ini mengakibatkan suku-suku ini tidak lagi diterima dengan status pengungsi, tetapi sebagai "economic migrant". Status yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan hak dan fasilitas yang mereka dapat. Pengungsi, pindah karena terpaksa. Harus pindah karena situasi negara asal yang tidak aman dan membahayakan keselamatan mereka.

Karenanya pengungsi di suatu negara mempunyai akses ke layanan sosial masyarakat, akan berintegrasi di negara baru mereka dan tidak dapat dideportasi. Sedangkan "economic migrant", pindah karena ingin meningkatkan kualitas hidup mereka. Karenanya mereka akan tunduk dengan peraturan imigrasi dan dapat dideportasi.

Pengaruh agama Kristen dapat terlihat dari keberadaan gereja di perkampungan Baan Tong Luang
Pengaruh agama Kristen dapat terlihat dari keberadaan gereja di perkampungan Baan Tong Luang
Suku Kayan yang datang ke Thailand, ditempatkan di lokasi yang dibuat khusus untuk mereka. Banyak dari suku ini yang tidak diperkenankan meninggalkan permukiman tanpa kartu identitas Thai, dan status mereka yang tidak "kuat", membuat mereka tidak bisa mendaftar untuk mendapatkannya.

Tanpa status kewarganegaraan yang jelas, mereka memiliki keterbatasan terhadap akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas lain yang umumnya diterima oleh seorang warga negara. Sekolah lokal hanya memberikan pendidikan sampai kelas 6. 

Keunikan suku Kayan ini membuat banyak orang (turis) datang berkunjung dan kampung mereka menjadi "tempat wisata". Pengunjung membayar tiket (untuk Baan Tong Luang, tiketnya seharga 500 baht / Rp225.000,-). Sayangnya, uang tiket ini tidak sepenuhnya mencapai mereka.

Dari uang pendapatan tersebut, mereka hanya akan dibagikan barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako. Dan untuk perempuan yang memakai lilitan leher, akan diberikan gaji yang besarnya tergantung dari jumlah tumpukan lilitan yang mereka pakai.

Pemilik pedesaan ini akan mengurangi gaji mereka, apabila mereka membicarakan keinginan mereka untuk dapat meninggalkan desa tersebut atau bila mereka memakai barang-barang modern.

Kondisi kehidupan yang tak mudah dan adanya sedikit harapan untuk mendapatkan pendapatan, yang salah satunya adalah dengan memakain cincin leher ini, mengakibatkan para orangtua akhirnya memakaikan cincin di leher anak perempuan mereka, walaupun selain berbahaya bagi kesehatan, mereka juga harus menyisihkan uang untuk membeli cincin leher tersebut yang harganya juga tidak murah.

Dengan memakai cincin di leher, mereka berharap anak perempuan mereka akan dapat hidup yang lebih baik. Dapat mendapatkan penghasilan dan hidup lebih layak. Karena selain mendapat "gaji", mereka juga bisa mendapatkan tambahan uang dari para pengunjung yang ingin berfoto dengan mereka atau membeli barang kerajinan tangan mereka. Pilihan yang tak mudah pastinya bagi para orang tua ini.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri
Keadaan perempuan suku Kayan ini banyak yang menyamakan dengan "kebun binatang manusia". Suatu metafora yang ada benarnya juga, melihat dari artifisialnya kampung mereka, keharusan mereka untuk memakai kostum tradisional demi "kesenangan" turis dan larangan benda "modern" seperti handphone di permukiman mereka. 

Banyak yang menganjurkan wisatawan yang berkunjung ke Thailand untuk tidak datang ke kampung ini. Anjuran yang walaupun didasarkan pada itikad baik ini, menurut saya tetap memerlukan pemikiran panjang. Perlu dipikirkan dampaknya dan juga perlu mencari solusi yang dapat "memenangkan" semua pihak.

Bila dulu, perempuan suku ini menggunakan cincin leher sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan budaya leluhur, namun sekarang ini banyak yang melakukan tradisi ini, demi kelangsungan hidup mereka. Mereka abaikan risiko buruk bagi kesehatan mereka tersebut, dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih layak.

Berkunjung ke suku ini, sungguh mengusik rasa kemanusiaan kita. Semoga pihak yang berwenang dapat tersentuh nuraninya, dan mau bekerja keras dan bekerja sama untuk membuat keadaan yang lebih baik bagi mereka.

Perempuan berleher panjang: saat kelanjutan sebuah tradisi patut kita pertanyakan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun