Mohon tunggu...
Visca
Visca Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan arsitektur Universitas Indonesia, yang walaupun sudah tak berprofesi arsitek, tetap selalu suka menikmati segala bentuk arsitektur. Pernah tinggal di Maroko, Belanda, Thailand, dan tentunya Indonesia.

Traveler. Baker. Crafter.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisah Ironis dari Para Perempuan Leher Panjang Suku Kayan

6 Maret 2020   12:59 Diperbarui: 7 Maret 2020   20:11 7703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengaruh agama Kristen dapat terlihat dari keberadaan gereja di perkampungan Baan Tong Luang

Dari uang pendapatan tersebut, mereka hanya akan dibagikan barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako. Dan untuk perempuan yang memakai lilitan leher, akan diberikan gaji yang besarnya tergantung dari jumlah tumpukan lilitan yang mereka pakai.

Pemilik pedesaan ini akan mengurangi gaji mereka, apabila mereka membicarakan keinginan mereka untuk dapat meninggalkan desa tersebut atau bila mereka memakai barang-barang modern.

Kondisi kehidupan yang tak mudah dan adanya sedikit harapan untuk mendapatkan pendapatan, yang salah satunya adalah dengan memakain cincin leher ini, mengakibatkan para orangtua akhirnya memakaikan cincin di leher anak perempuan mereka, walaupun selain berbahaya bagi kesehatan, mereka juga harus menyisihkan uang untuk membeli cincin leher tersebut yang harganya juga tidak murah.

Dengan memakai cincin di leher, mereka berharap anak perempuan mereka akan dapat hidup yang lebih baik. Dapat mendapatkan penghasilan dan hidup lebih layak. Karena selain mendapat "gaji", mereka juga bisa mendapatkan tambahan uang dari para pengunjung yang ingin berfoto dengan mereka atau membeli barang kerajinan tangan mereka. Pilihan yang tak mudah pastinya bagi para orang tua ini.

Sumber: dokpri
Sumber: dokpri
Keadaan perempuan suku Kayan ini banyak yang menyamakan dengan "kebun binatang manusia". Suatu metafora yang ada benarnya juga, melihat dari artifisialnya kampung mereka, keharusan mereka untuk memakai kostum tradisional demi "kesenangan" turis dan larangan benda "modern" seperti handphone di permukiman mereka. 

Banyak yang menganjurkan wisatawan yang berkunjung ke Thailand untuk tidak datang ke kampung ini. Anjuran yang walaupun didasarkan pada itikad baik ini, menurut saya tetap memerlukan pemikiran panjang. Perlu dipikirkan dampaknya dan juga perlu mencari solusi yang dapat "memenangkan" semua pihak.

Bila dulu, perempuan suku ini menggunakan cincin leher sebagai bentuk apresiasi terhadap warisan budaya leluhur, namun sekarang ini banyak yang melakukan tradisi ini, demi kelangsungan hidup mereka. Mereka abaikan risiko buruk bagi kesehatan mereka tersebut, dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih layak.

Berkunjung ke suku ini, sungguh mengusik rasa kemanusiaan kita. Semoga pihak yang berwenang dapat tersentuh nuraninya, dan mau bekerja keras dan bekerja sama untuk membuat keadaan yang lebih baik bagi mereka.

Perempuan berleher panjang: saat kelanjutan sebuah tradisi patut kita pertanyakan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun