Sebetulnya saya agak ragu untuk menaruh judul “Pengalaman Hidup Nomaden di Mongolia”, karena saya hanya merasakannya dua hari satu malam. Namun, karena kesan yang dirasakan dari pengalaman yang singkat, ternyata sangat membekas, membuat saya memberanikan diri menulis dengan judul seperti itu.
Mongolia memiliki luas area sekitar 1.5 juta kilometer persegi, tetapi hanya memiliki penduduk 3 juta jiwa, dan sekitar 45 persen penduduknya tinggal di ibukota, Ulaanbataar. Jadi dapat dibayangkan betapa rendahnya tingkat kepadatan penduduk di dareah lain.
Sekitar 30 persen dari penduduknya, menjalani hidup nomaden. Hal ini dikarenakan mata pencaharian mereka dari hewan ternak, yang memerlukan padang rumput luas dan juga dikarenakan iklim yang tidak mudah, dimana saat musim dingin, suhu bisa mencapai dibawah minus 30 derajat celcius.
Mereka berpindah tempat menyesuaikan kondisi musim, saat musim dingin, mereka akan memilih tinggal di balik gunung untuk melindungi dari cuaca dingin.
Saat musim semi dan panas, mereka akan tinggal di dekat sungai. Dan saat musim gugur, mereka akan tinggal di bukit untuk mengumpulkan jerami sebagai persediaan musim dingin. Biasanya mereka akan berpindah minimal 4 kali dalam setahun.
Namun, pengalaman tinggal bersama keluarga nomaden di Mongolia, suatu hal yang sangat unik dan sarat pelajaran hidup, yang membuat saya mendedikasikannya dalam tulisan tersendiri.
Keluarga nomaden yang kami tumpangi, lokasinya tidak jauh dari Hustai National Park. Mereka tinggal di tenda yang disebut ger. Tenda berwarna putih dengan bentuk silinder. Strukturnya terdiri atas tiang-tiang kayu yang yang disusun membentuk lingkaran, yang kemudian ditutup dengan penutup bahan felt dan kanvas.
Ger yang kami tempati mempunyai 4 tempat tidur yang diletakkan menempel dinding tenda. Di bagian tengah tenda ada perapian lengkap dengan cerobong yang menembus atap tenda. Beberapa perabot seperti lemari, meja dan kursi juga tersedia di dalam tenda.
Yang disebut toilet hanya lubang di tanah dan di sekelilingnya diberi seng untuk sedikit mendapat privasi saat melakukan panggilan alam. Setelah selesai, tinggal menutupi dengan tanah, menggunakan sekop yang memang disediakan di “toilet” tersebut. Mengamati situasi dan kondisi, satu hal kami tahu pasti, tak ada mandi untuk malam itu.
Sepulang berkuda, kami dipinjamkan pakaian mereka untuk berfoto, membuat kenangan sebagai pengingat kelak, kalau kami pernah berada di sana. Waktu mengalir lembut, tak tergesa. Kami menikmati hanya saat itu, menikmati apa yang ada. Berjalan-jalan di sekitar ger.
Melihat ternak, sapi, kambing, domba dan kuda yang jumlahnya puluhan. Juga bermain dengan anak kambing, yang dijadikan hewan peliharaan oleh mereka. Berbeda dengan kebanyakan hewan peliharaan di tempat lain, di keluarga nomaden Mongolia, anak kambinglah yang dijadikan hewan peliharaan.