Mungkin saya agak sedikit berbeda dari kebanyakan orang Indonesia. Bila umumnya orang Indonesia merasa belum makan kalau belum makan nasi, nah bagi saya, rasanya belum makan, kalau belum makan roti.
Saya penggemar segala jenis roti, dari roti Baguette Prancis yang keras sampai roti Shokupan Jepang yang lembut. Dari yang isinya coklat keju, sampai yang isinya daging sayur.
Hingga suatu hari tiba-tiba (tanpa pertanda apapun) terbersit keinginan untuk membuat sendiri. Mulailah google menjadi sahabat terbaik. Sebagai pemula, saya sadar diri, mencari resep yang katanya paling mudah. Setelah melalui berbagai pemikiran dan pertimbangan, terpilihlah satu resep yang beruntung.
Langkah pertama juga masih mudah, hanya perlu mengaktifkan ragi, yaitu mencampur ragi, gula dan air hangat. Langkah berikutnya adalah mencampur tepung dengan bahan lainnya dan menguleni hingga kalis.Â
Wah ada dua kata yang mungkin menimbulkan pertanyaan bagi yang belum pernah mencoba membuat roti. Menguleni. Apa itu? Menguleni itu mencampur tepung, air ragi dan beberapa bahan lainnya, yang mana dalam prosesnya melibatkan kegiatan mengaduk, membanting, meninju dan menggiling.Â
Cocoklah sebagai sarana pelepas stress. Kalau kalis? Kalis itu kondisi adonan yang tidak lengket di tangan, yang bisa dicapai dari kegiatan menguleni. Proses yang buat saya seperti magic. Kok bisa, dari tepung campur air yang lengketnya bukan kepalang, bisa menjadi adonan lembut dan tidak lengket sama sekali. Dan betul, di langkah inilah, jalan mulai mendaki. Â
Awal menguleni, tenaga masih kuat, semangat masih penuh. Lima menit menguleni, pegal mulai terasa, dan adonan tetap lengket. 10 menit menguleni, adonan masih setia menempel di tangan. Keyakinan pun mulai luntur.Â
Apakah betul, adonan bisa kalis? Penasaran, bercampur dengan mencoba terus meyakinkan diri dan berpikir positif bahwa adonan akan menjadi kalis di suatu saat, saya terus melanjutkan proses menguleni tersebut. Dan tiba-tiba, betul, seperti magic, adonan menjadi kalis! Wah, tak ada kata yang bisa melukiskan perasaan saya saat itu, senang, bangga, puas bercampur jadi satu.
Menunggulah saya selama 30 menit. Salah satu 30 menit terpanjang yang saya pernah rasakan. Berdebar-debar saat akan memeriksa adonan.Â
Ternyata, debaran itu seakan menjadi pertanda, adonannya tidak mengembang sampai dua kali lipat. Di sini saya harus memilih, apakah meneruskan menunggu (dengan harapan ia akan mengembang lebih besar lagi), atau melanjutkan ke langkah berikutnya.Â
Akhirnya saya memilih untuk menunggu. Ternyata penantian saya, berbuah manis. Sang adonan mau mengembang lebih besar lagi. Ternyata waktu yang diperlukan bagi sang pembuat resep belum tentu sama dengan waktu yang saya perlukan. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti kehangatan ruangan, kualitas ragi dan sebagainya.