Tantangan manajemen untuk penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 sangat tinggi, yaitu bagaimana KPU melaksanakan secara demokratis dan berintegritas pemilu serentak legislatif dan pemilu eksekutif yang dapat menggunakan hingga satu milyar surat suara?. Tantangan tersebut bermuara pada pandangan bahwa apabila KPU dapat melaksanakan pemilu serentak 2019 dengan kualitas yang sama seperti sebelumnya sudah menjadi pencapaian yang sangat baik.
Rasanya sulit sekali dapat melampaui capaian KPU saat ini yang telah terbukti sukses melaksanakan pemilu 2014 dengan sejumlah pembaruan pemilu seperti: penerapan teknologi informasi dengan efektif seperti : Sipol, Sidalih, Sidapil hingga Situng yang dikelola dengan prinsip open goverment sehingga menghasilkan partisipasi publik yang sangat tinggi dan efektif. Kisah sukses kawalpemilu yang berhasil membantu KPU memenuhi salah satu instrumen pemilu demokratis, yaitu hasil pemilu yang cepat diketahui saat pemilu eksekutif (pilpres).
Namun setiap masa ada tantangannya, demikian pula dalam menatap pemilu 2019. Secara kelembagaan KPU memiliki modal kepercayaan publik yang tinggi sehingga wajar saja bila komisioner KPU RI saat ini kembali dipertimbangkan untuk dipilih kembali untuk masa kerja periode kedua, bahkan menjadi harapan publik. Dengan adanya tantangan yang lebih besar, salah satu agenda terpenting adalah menyiapkan kerangka hukum pemilu yang mengatur penguatan manajemen pemilu untuk terlaksanakanya penyelenggaraan pemilu 2019 dengan minimal berkualitas sama seperti pemilu 2014. Untuk itu proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang menggabungkan 3 (tiga) UU menjadi satu perlu juga memperhatikan dengan lebih dalam aspek teknis penyelenggaraan pemilu selain aspek sistem pemilu, dapil, dana kampanye dan sebagainya.
Tiga Pertanyaan Kunci
Suksesnya pemilu 2014 masih menyisakan sejumlah permasalahan yang perlu diperhatikan dengan serius secara integral dengan tantangan manajemen pemilu 2019. Secara sederhana ada 3 pertanyaan kuncinya, yaitu: pertama, bagaimana cara melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS dengan 5 kotak suara selesai pada hari yang sama?; kedua, bagaimana cara pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara dengan lebih efisien?; ketiga, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan teknis lainnya ditingkat badan adhoc seperti daftar pemilih bermasalah dan pembagian form C6 (surat pemberitahuan) kepada pemilih?
Tiga pertanyaan kunci ini harus dapat dijawab dengan langkah-langkah teknis penyelenggaraan yang kongkrit, aplikatif serta efektif. Pertanyaan pertama menjadi krusial karena realitas pelaksanaan pemungutan suara pemilu sebelumnya pada sejumlah TPS dengan empat kotak suara berlangsung hingga dini hari sehingga kotak suara diserahkan ke PPS di kantor desa atau kelurahan pada subuh atau pagi hari berikutnya. Kondisi ini menghadirkan potensi manipulasi dalam penghitungan suara di TPS.
Pertanyaan kedua pun demikian, dengan proses rekapitulasi penghitungan suara secara berjenjang dari PPS dan PPK yang dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota diduga sejumlah pihak kerap menjadi pintu masuk terjadinya manipulasi suara oleh oknum badan adhoc.
Pertanyaan ketiga tak kalah pentingnya karena terkait dengan jaminan hak konstitusional warga negara. Pada pemilu masa orde baru, daftar pemilih menjadi salah satu malpraktik pemilu dengan istilah seperti: menggunting pemilu dan pemilih fiktif. Istilah menggunting pemilih dimaksudkan menghilangkan hak pilih sejumlah warga negara dikarenakan perbedaan preferensi politik. Sedangkan pemilih fiktif menjadi sarana untuk menambahkan perolehan suara peserta pemilu tertentu yang dikenal dengan penggelembungan suara. Pentingnya menjawab pertanyaan kunci diatas semakin mendesak dengan berkaca pada besarnya jumlah pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu yang salah satunya pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil pemilu.
Mendesaknya Reorganisasi
Membenahi badan adhoc penyelenggara pemilu (badan adhoc) menjadi fokus pembahasan untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Formulasi pembenahan badan adhoc yang efektif bila ditemukan penting untuk diakomodir pada undang-undang penyelenggaraan pemilu sehingga menjadi bagian dari hukum pemilu. Salah satu alternatif pembenahan badan adhoc adalah dengan mempertimbangkan untuk dilakukannya reorganisasi. Salah satu istilah yang muncul dari pencarian arti reorganisasi di mesin pencari google adalah perubahan garis kewenangan, struktur organisasi, struktur keuangan dan perubahan lainnya yang ditujukan untuk memperbaiki struktur manajemen dan keuangan suatu organisasi. Sementara menurut kamus besar bahasa indonesia (kbbi) online reorganisasi adalah penyusunan kembali (pengurus, lembaga, dan sebagainya). Dengan dua pengertian tersebut, reorganisasi badan adhoc dimaksud bermakna melakukan perubahan tugas, fungsi dan wewenang badan adhoc mulai PPK, PPS, KPPS serta PPDP/Pantarlih.
PPDP/Pantarlih dimasukkan karena secara faktual menjadi salah satu bagian dari penyelenggara pemilu yang bersifat adhoc dengan fungsi utama pada kerja melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Hasil kerja PPDP/Pantarlih digunakan oleh PPS dan KPPS untuk membagikan surat pemberitahuan kepada pemilih (form C6). Pada realita pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara kerap muncul masalah seputar daftar pemilih seperti: adanya pemilih yang sebelumnya sudah terdaftar namun kini hilang, adanya pemilih telah meninggal masih ada di dalam DPT, adanya pemilih yang belum memenuhi syarat namun masuk dalam DPT dan sebaliknya. Untuk itu dalam konteks membenahi badan adhoc harus juga memasukkan PPDP/Pantarlih.
Pendekatan dalam membenahi badan adhoc perlu dilakukan dengan hati-hati dan detail, mengingat taruhannya adalah kualitas pelaksanaan pemilu serentak 2019. Langkah awal yang paling baik dengan belajar atau mengambil hikmah dari pelaksanaan pemilu sebelumnya. Hal ini terbukti efektif dan menjadi salah satu pendekatan dalam praktik manajemen dengan istilah yang dikenal luas sebagai continuous improvement (CI), yaitu usaha usaha berkelanjutan yang dilakukan untuk mengembangkan dan memperbaiki produk, pelayanan, ataupun proses (www.shift indonesia.com). Proses CI melalui empat langkah PDCA (Plan-Do-Check-Act) yang dikenal sebagai siklus Deming. Dengan demikian, pembenahan badan adhoc tidak semata berkalkulasi dari pengalaman namun perlu pula dilakukan uji lapangan atau simulasi sebelum diputuskan menjadi pilihan formulasi reorganisasi yang menjadi bagian dari hukum pemilu.
Tiga Aspek Reorganisasi
Menjawab tiga pertanyaan kunci tersebut menghasilkan tiga aspek formulasi reorganisasi. Disebut tiga aspek karena menjadi satu kesatuan formulasi reorganisasi yang masih perlu di uji tingkat keefektifannya. Tiga aspek tersebut secara tertib mengacu pada pelaksanaan tahapan pemilu di tingkat badan adhoc, yaitu coklit daftar pemilih, pembagian C6, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi. Berikut langkah reorganisasi yang dapat dipertimbangkan: