Mohon tunggu...
Virgorini Dwi Fatayati
Virgorini Dwi Fatayati Mohon Tunggu... Guru -

Awal-awal agama adalah mengenal Allah, ini menunjukkan pentingnya manusia mengenal Allah.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hati yang Baik Dibentuk dari Makanan Halal

7 November 2017   15:27 Diperbarui: 7 November 2017   17:51 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Siapa yang tidak mau berhati baik, mudah menerima kebenaran dan selamat dunia dan akhirat? Semua orang tentulah menginginkannya. Secara fitrah, insan beragama apapun tidak ada yang bercita-cita menjadi manusia durhaka yang berhati keras dan susah jadi orang baik. Semua orang, sejahat apapun tentulah senang dengan kebaikan.

Kebaikan itu sendiri datangnya dari mana? Tentulah dari hati yang baik. Bagaimana cara mendapatkan hati yang baik? Apakah hanya melalui pengasuhan dan pendidikan saja? Tidak, hati yang baik terbentuk dari makanan yang baik pula, makanan yang halal, bersih dan suci.

Sejak saya mendalami agama, saya berhati-hati sekali dalam soal makanan ini. Dari mulai kebersihan dan kesucian, juga kehalalannya. Makanya saya berhenti membeli roti tawar saat tanpa sengaja saya memergoki pembuatan roti yang telurnya tidak dicuci terlebih dulu. Saya juga sempat berhenti membeli ayam negeri saat sang pemilik peternakan mengungkapkan salah satu pakan ayamnya adalah dari daging binatang yang tidak halal.

"Lho, memangnya kenapa, Bu? Kan yang dimakan daging ayamnya, bukan daging yang dimakan oleh ayam-ayam itu," tukasnya saat saya mempertanyakan pakan ayamnya.

Ya memang logikanya begitu, tapi daging ayamnyakan terbentuk dari pakannya? Sungguh hal itu membuat saya bergidik.

Di tempat lain yaitu di pasar, saya mendapati tukang ayam yang dengan cekatan menyembelih ayam yang entah sudah mati karena disembelih atau belum, ayam-ayam itu dilempar begitu saja ke dalam sebuah tong besar berisi air panas. Urung saya membeli ayam sambil dimaki sang tukang ayam yang mengatakan saya lebay. Okelah saya terima, saya memang lebay untuk urusan hati ini, saya tidak mau hati saya keras hanya gara-gara saya menyepelekan urusan makan, apalagi saya seorang ibu rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap segala yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga.

Dalam setiap jajanan anak-anak juga saya sangat berhati-hati. Pernah anak saya sampai meraung-raung karena minta dibukakan permen yang mengandung lesitin tapi di situ tidak jelas lesitin yang terkandung di dalamnya lesitin soya atau bukan. Selain itu tidak ada logo halalnya. Ibu saya sampai marah karena lebih rela mendengar tangisan anak daripada memberikan saja permen itu. 

"Sudahlah berikan saja, diakan masih anak-anak, belum baligh, belum diterima ibadahnya juga gak masalah, dia gak akan berdosa juga seandainya permen itu ternyata gak halal," bujuk ibu saya kesal. Saya memilih menjelaskan pada anak saya yang saat itu sudah lima tahun tentang alasan saya tidak membolehkannya memakan jajanan yang dibelinya sendiri itu.

Tidak mudah sebenarnya mau memastikan yang kita konsumsi itu benar-benar halal atau tidak. Kalau sampai termakan yang tidak halal resikonya ibadah tidak diterima. Kalau kita tidak tahu memang tidak sampai berdosa, tapi hati kita jadi keras dan sulit menerima ilmu agama apalagi hidayah. Itu yang selalu saya tekankan pada anak-anak, apalagi saat sedang heboh-hebohnya makanan dari Korea itu, anak saya yang sudah beranjak remaja merasa tidak kekinian kalau belum ikut teman-temannya mencicipi makanan tersebut. Namun syukurnya mereka bisa memahaminya.

Makanya alangkah leganya saya saat kementrian agama memperhatikan soal kehalalan produk makanan dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Dengan adanya logo halal MUI pada setiap produk dari industri makanan maupun kebutuhan pokok yang kita pakai membuat kita tidak was-was saat memakai atau mengkonsumsinya. 

Saya bersyukur dengan adanya perhatian dari Kemenag ini, meski katanya membutuhkan proses yang lumayan panjang dan rumit untuk mendapatkannya bagi pemilik industri makanan, namun bayarannya setimpal, karena konsumen tidak perlu ragu lagi membeli makanan yang sudah mendapat sertifikat halal tersebut. Efeknya pembeli akan bertambah dan jadi langganan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun